Presiden Jokowi menargetkan kemiskinan ekstrem menjadi 0% di tahun 2024, namun Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa mengaku berat mencapai target tersebut.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendefinisikan kemiskinan ekstrem, atau kemiskinan absolut, sebagai "suatu kondisi yang tidak dapat memenuhi kebutuhan primer manusia, termasuk makanan, air minum bersih, fasilitas sanitasi, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan informasi. Kemiskinan ekstrem tidak hanya bergantung pada pendapatan, tetapi ketersediaan jasa juga." Pada tahun 2018, kemiskinan ekstrem mengacu pada pendapatan di bawah garis kemiskinan internasional USD 1,90 per hari (nilai pada tahun 2011) menurut Bank Dunia. Nilai ini setara dengan USD 2,12 pada tahun 2022.
Ikhtiar Pemerintah demi percepatan pemberantasan kemiskinan ekstrem dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2022 tentang Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem. Instruksi ini merupakan langkah percepatan pemberantasan kemiskinan di Indonesia yang ditargetkan tuntas pada 2024. "Mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing untuk melakukan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem dengan memastikan ketepatan sasaran dan integrasi program antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran serta masyarakat yang difokuskan pada lokasi prioritas percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem," demikian bunyi instruksi Presiden yang dapat diakses pada laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum (JDIH) Sekretariat Kabinet ini. Selain itu, Presiden Jokowi juga menginstruksikan kepada jajarannya untuk melaksanakan percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem secara tepat sasaran melalui strategi kebijakan yang meliputi pengurangan beban pengeluaran masyarakat, peningkatan pendapatan masyarakat, dan penurunan jumlah kantong-kantong kemiskinan. Kedua instruksi tersebut ditujukan kepada sejumlah menteri dan kepala lembaga serta seluruh gubernur dan bupati/wali kota (sumber indonesia.go.id).
Apa penyebab beratnya target ini dicapai? Menurut Suharso, adanya pandemi Covid 19, diperlukan prasyarat utama untuk memperbaiki capaian isu strategis kemiskinan ekstrem yakni memutakhirkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) melalui Registrasi Sosial Ekonomi (regsosek) dan integrasi program lintas kementerian/lembaga (K/L). Akurasi data penerima program penyaluran bantuan sosial dinilai masih rendah sehingga tidak langsung menyasar masyarakat miskin ekstrem. Di mana pada 2020 realisasinya hanya 48%, 2021 43%, dan 2022 41%.
Instruksi Presiden (Inpres) nomor 4 tahun 2022 jika dicermati sangatlah jelas apa yang harus dilakukan kementerian/lembaga, gubernur, walikota, bupati. Proses implementasi kerapkali tidak tepat sasaran, misalnya program stunting alokasi anggaran masih banyak bagi aktifitas penunjang bukan inti, misalnya untuk anggaran rapat, sosialisasi dan pengembangan yang nilainya justru lebih besar daripada pengadaan susu, telor, vitamin bagi peningkatan gizi. Program pemberantasan kemiskinan tidak presisi, ketajaman program sulit dibuat jika data target tidak valid, tidak mendetil, maka menjadi bias sasaran program yang dibuat. Misalnya Kebijakan peningkatan pendapatan masyarakat, "program apa yang tepat bagi mereka? Tidak sebatas memberikan bantuan sembako, pengobatan gratis, program semacam ini untuk solusi jangka pendek menjadi alternatif, namun tidak tepat dalam jangka panjang, penerima menjadi  pasif dan cenderung mengharapkan bantuan (ketergantungan) tanpa berupaya mandiri. Lakukan pemetaan dengan saksama kantong-kantong kemiskinan, pelajari potensi yang ada untuk bisa dikembangkan menjadi usaha kecil bagi mereka atau transmigrasi jika mereka tinggal di lokasi padat penduduk. Memberikan pelatihan pengelolaan usaha, membantu permodalan, pemasaran, libatkan BUMN dan perusahaan swasta melalui peran dan sumbangsih bagi masyarakat  dalam Coorporate Social Responsibility (CSR)."Selain pemberian bantuan sosial, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan berbasis geospasial dalam melakukan intervensi kemiskinan," ujar Kepala BPS, Margo Yuwono. Beliau juga menyampaikan bahwa "kemiskinan ekstrem tidak cukup diselesaikan hanya dengan berbagai intervensi bantuan sosial, karena penyebabnya bisa bersifat sistemik, salah satunya permasalahan infrastruktur. Akses menuju kantor desa, fasilitas kesehatan, tempat usaha juga menjadi faktor penting penyebab kemiskinan ekstrem." Karena itu penting sekali menganalisis penyebabnya agar program pengentasan kemiskinan ekstrem tepat sasaran dan jelas langkah-langkah konkrit yang akan dilakukan.
Proses pemutahkiran data seharusnya lebih cepat dengan kemajuan teknologi informasi dan penggunaan identitas tunggal kependudukan untuk identifikasi ketepatan penerima bantuan, mengapa data belum up-date karena masih rendahnya kompetensi sumber daya manusia (SDM), etos kerja yang baik belum sepenuhnya terbangun di kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, kabupaten/kota, integritas dan loyalitas yang masih rendah, korupsi dan penyalahgunaan wewenang, birokrasi yang berbelit dan cenderung dibuat rumit, masalah-masalah ini  harus tuntas diselesaikan tidak hanya dengan pendekatan law enforcement, namun juga tindakan pencegahan dengan system pengendalian internal yang mumpuni.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyampaikan tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia pada Maret 2022 sebesar 2,04% atau 5,59 juta jiwa, menurun dari data Maret 2021 yang sebesar 2,14% atau 5,8 juta jiwa, dengan upaya semaksimal mungkin dan terintegrasi di semua pemangku kepentingan niscaya target tersebut bisa terealisasi.
Tangerang, Â Maret 2024
Chen Siauw
Mahasiswa Pascasarjana Magister Ministri
STT Amanat Agung-Jakarta
Email : siauwchen15@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H