Hmm … seingat saya nggak tuh! Karena saya mulai mempelajari tipe tulisan yang diinginkan tiap media, belajar dari buku cerita yang saya baca, soal penggunaan tanda baca, kosa kata, penempatan kata dan kalimat aktif serta pasif dan sebagainya. Ketika kelas 1 SMU, saya menulis komentar pendek berhadiah soal guru di sekolah. Waktu itu saya menulis komentar lucu tentang guru matematika dan wali kelas saya di kelas 1-5. Ternyata tulisan saya terpilih dan dimuat. Hadiahnya, gantungan kunci bertuliskan ‘GADIS’. Senengnya minta ampun! Apalagi waktu itu saya datang langsung ke redaksinya dan terkagum-kagum melihat mereka yang bekerja di media itu. Pada saat itu, saya langsung berfikir, “Suatu saat, gue pasti akan seperti mereka!” Jadi, saya makin sering menulis. Dibalikin, ya nggak masalah. Sedih dan kecewanya sebentar saja. Kemudian mulai lagi menulis, meski dari 20 atau 10 naskah yang dikirim, paling cuma 1 yang diterima. Sisanya, wassalam!
Kelas 2 SMU, saya masuk jurusan bahasa (A4). Belajar Sastra Indonesia makin memperkaya dan memperindah tulisan saya. Dan saya juga mulai keranjingan membaca buku-buku sastra, seperti Di Bawah Lindungan Kabah, Layar Terkembang, Atheis, Tenggelamnya Kapal Van Der Wyck, Siti Nurbaya, sebagainya. Saya sampai terkagum-kagum karena bahasa sastra begitu indah. Saya makin intens menulis, terutama cerita pendek (cerpen). Mungkin karena melihat saya begitu tekun menulis, papa saya membelikan mesin tik merk Brother. Mulailah, hampir setiap hari saya mengetik di kamar. Sering, sambil menulis saya mendengarkan Prambors, sampai selesai siaran dengan ditandai alunan Alone Tonight-nya Genesis, saya belum berhenti. Pernah saya diomeli papa karena dari pagi sampai malam, nggak berhenti mengetik. “Ephieee … jangan ketik-ketik melulu! Entar pantatnya tambah tepos lo! Ayo tidur!”
Hehehe … memang sejak punya mesin tik pribadi – bukan pinjaman lagi --, saya makin keranjinan. Saking rajinnya, bukan Cuma sekedar bikin tulisan nggak jelas – yang akhirnya hanya disimpan jadi file doang – saya juga senang mengerjakan tugas buat teman-teman. Lumayan, banyak juga yang minta dibuatkan tugas. Dari anak A1, A2, bahkan A3. Biasanya tugas bahasa Indonesia, sejarah, cerpen, ringkasan pidato,, makalah dan semuanya saya ketik dengan rapi jali … bayarannya, kadang coklat Silver Queen, kadang ditraktir makan mie ayam di kantin belakang sekolah, tapi sering juga pro bono alias gratui ….
Dan setelah kelas dua, tulisan saya – cerpen -- mulai ada yang dimuat di majalah Nona dan Anita. Bahagia? Jangan ditanya! Rasanya kerja keras dan air mata saya, kalau tulisan dikembalikan, lunas sudah! Apalagi honor di majalah Nona waktu itu lumayan banget buat ukuran anak sekolah kayak saya. Rp 60 ribu! Langsung, saya bayar buat SPP bulanan yang waktu itu Cuma Rp 4.500,-/bulan, 4 bulan sekaligus. Terus buat traktir teman dan beliin coklat dan saya bagikan ke sahabat-sahabat saya di sekolah.
[caption caption="dokumentasi"]
Ketika sering naik gunung, saya mulai diminta teman menulis kisah perjalanan kami. Jadilah hiking ke Semeru dimuat di majalah Mode. Tahu nggak, waktu melihat honor ditanda terima, saya langsung panic. Gimana nggak, honornya gede banget! Rp 165 ribu! Waktu tanda tangan dan nerima amplop itu saja, saya sampai gemetaran. Sepanjang perjalanan pulang, saya nggak berhenti mengucap Alhamdullilah. Honornya disimpan buat naik gunung, beli sepatu dan carrier. Juga membelikan sepatu buat sahabat saya di sekolah. Senang … banget! Tapi yang lebih senang, ya teman-teman saya anak Pecinta alam, karena mereka jadi eksis di majalah! Dan terpenting, saya jadi sering banget diajak naik gunung. Karena kalau tulisan yang saya dimuat di majalah, praktis foto-foto mereka ada di majalah. Hehehe ….
Saya juga mulai memilih untuk datang langsung ke redaksi, ketimbang mengirim lewat pos. Mengetuk pintu satu demi satu kantor media. Mencoba berkenalan dan SKSD (Sok Kenal Sok Dekat) dengan Redakturnya, mencoba bertanya, minta masukan dan saran. Kalau tulisan saya tidak diterima, saya akan tanya, kurangnya dimana … jelek banget atau apa … biasanya, kalau sudah kenal baik, mereka – para redaktur – nggak akan segan-segan memberikan kritikan dan masukan. Kadang sedih, tapi saya pikir … semua masukan dan kritikan itu jadi cambuk untuk terus berkarya. Biasanya saya perbaiki lagi, lalu saya kirim ke majalah lain. Begitu seterusnya. Kadang ada yang dimuat, kadang tidak, Biasanya kalau sudah dikirim ke 3-4 media berbeda tidak juga dimuat, saya akan simpan sebagai dokumentasi.
[caption caption="dokumentasi"]
Toh, perjuangan saya tidak sia-sia. Akhirnya, naskah cerpen saya mulai sering dimuat di majalah, terutama Anita Cemerlang. Bahkan kalau belum mengirim tulisan lagi, mereka pasti mengingatkan, supaya saya mengirim tulisan baru atau stock naskah. Bahkan setelah mulai dikenal, saya beberapa kali dikirimi surat oleh media baru yang meminta tulisan/cerpen. Bahkan di surat itu, ditulis, jika naskah saya dibaca dan di acc, langsung dikirim honor, tanpa harus menunggu dimuat terlebih dahulu. Bangga sudah pasti, berarti karya saya mulai diakui.
Tapi, apakah dengan ‘diakui’saya lantas berhenti belajar?
Tidak! Mungkin pengalaman yang saya jembreng diatas hanya sebagian kecil dari kesulitan yang saya alami untuk menjadi seorang penulis. Setidaknya menjadi penulis yang baik dan benar.