Mohon tunggu...
Chelvia Ch. Meizar
Chelvia Ch. Meizar Mohon Tunggu... -

Hanya orang biasa yang melakukan hal-hal biasa. Ibu dari 4 anak. Penulis skenario dan penulis buku. Punya banyak mimpi dan mencoba merealisasikannya satu demi satu.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

I'm Happy Being A Writer

3 Januari 2016   06:44 Diperbarui: 3 Januari 2016   08:56 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa enaknya menjadi penulis?
Kalau ditanya begitu, saya pasti akan cepat menjawab. Menyenangkan. Dan asyik banget!

[caption caption="dokumentasi"][/caption] Dengan menulis, kita bisa mencurahkan isi hati dan pikiran yang mungkin sulit terungkap lewat kata-kata. Menulis pengalaman, dari apa yang dilihat, dengar dan rasakan. Yang paling asyik dengan lamunan atau khayalan, mampu menjadi cerpen atau artikel, lalu dimuat di majalah atau surat kabar dan dapat honor … wah, itu kebanggaan tersendiri! Dan ternyata, pemicu saya menjadi penulis adalah Lembaran Bergambar (Lembergar) di harian Poskota tempo dulu!

Masa iya sih?

Iya … beneran lho! Nggak papa deh kelihatan tuwirnya … Tapi dulu banget … sekitar tahun 75-an, papa saya sudah berlangganan Pos Kota. Meski isi beritanya serem buat dibaca – lantaran termasuk koran merah yang beritanya kriminal --, tetapi kata mama, sejak batita saya sudah tertarik dengan isi lembaran bergambar yang selalu terselip di harian itu. Dan minta dibacakan isinya. Setelah saya mulai bisa membaca, saya coba mengeja sendiri. Inget banget deh! Dulu ada cerita Doyok, Otoy, Ali Oncom, Dery Manusia Bersisik … terus apa lagi, hmmm … lupa deh! Saya juga mulai membaca majalah Bobo. Suka sekali membaca kisah keluarga Bobo, Oky dan Nirmala, Juwita dan Si Sirik atau Deni Manusia ikan.

Saking senangnya, saya bahkan menggunting cergam-cergam itu, lalu saya buat kliping, ditempel di buku tulis. Dan di depan buku saya tulis ‘Cerita Doyok’, ‘Cerita Ali Oncom’ dan sebagainya. Lalu saya sewakan seharga Rp 15,-/buku kepada teman-teman tetangga saya yang mau menyewa.

Dan yang pasti, ketika duduk di Sekolah Dasar (SD) saya mulai tertarik membuat cerita bergambar. Menggunakan buku gambar atau kertas HVS putih dan isi pulpen hitam, saya mulai menggambar seadanya … lalu dibuat seperti lingkaran dan didalamnya untuk dialog. Entah … muncul ide dari mana dan nggak ada yang menyuruh sama sekali, ketika kelas 2 SMP, saya mulai cari tahu alamat redaksi Poskota atau Bobo. Cerita bergambar yang saya buat itu, saya masukan ke dalam amplop. Kemudian dikirim ke redaksi Pos Kota atau Bobo. Tidak lupa, saya sertakan pula amplop kosong berperangko dengan tulisan yang ditujukan ke alamat saya sendiri. Diterima? Hehehe … nggak tuh! Kalau dari Pos Kota dijawabnya mereka sudah punya cergamis sendiri … sementara dari Bobo dijawabnya, karya saya tidak sesuai dengan yang mereka mau. Iya deh!

Kesukaan menulis saya makin menjadi ketika saya mulai sering membaca Cergam Nina yang terbit bulanan saat duduk di bangku SMP. Lalu melahap serial Sapta Siaga, Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, serial Imung dll, juga Komik seperti Si Buta Dari Goa Hantu, Si Pitung, Jaka Sembung sampai Mahabaratha. Juga Titin dan Asterix. Tapi favorit saya adalah karya-karya Djair, kalau nggak salah yang judulnya Jurus Cengcorang, Kiamat di Kandang Haur, Dia Bajing Ireng, si Tolol sampai Kinong. Saya juga mulai menulis diary. Kalau dibaca lagi sekarang. Ceritanya norak-norak … naksir-naksiran nggak jelas, cinta monyet, berantem sama teman atau bête sama keluarga … lucu juga. Apalagi waktu SMU. Ketika naksir teman sekolah, 4 buku diary saya yang tebal-tebal … isinya diaaaaa melulu! Kalau membaca lagi, saya suka ketawa sendiri. Katrok banget kesannya, meski banyak kisah lucu didalamnya.

 [caption caption="dokumentasi"]

[/caption]

Ternyata menulis diary, ditambah kesukaan membaca buku, membuat imajinasi saya berkelana kemana-mana. Apalagi ketika mengenal majalah Gadis dan Anita. Saya mulai belajar menulis dan mengirimkannya ke redaksi majalah remaja itu. Dari sekian banyak yang saya kirim, ternyata tidak ada satu pun yang diterima. Kalau mendapat surat balasan, biasanya saya langsung hapal isinya. “Terima kasih sudah mengirimkan naskah kepada kami … tapi mohon maaf tidak bisa dimuat karena bla … bla … bla ….”

Hingga akhirnya pecah telor juga! Ketika lulus SMP, waktu lagi sibuk daftar-daftar masuk SMA … sekitar tahun 1986, tulisan pertama saya ‘Sejarah Nama-Nama Jalan di Jakarta’ (Kalau nggak salah) dimuat di majalah Gadis. Aduh, seneeeeengggg banget! Saya sampai jejeritan dan lompat-lompatan di pinggir jalan waktu lihat nama saya tertera di majalah. Honornya lumayan, Rp 25 ribu! Saya kembali termotivasi untuk menulis lagi. Kali ini bukan cuma majalah Gadis, tapi juga Anita, juga media surat kabar. Tapi ya itu … lagi-lagi balasannya ucapan terima kasih dan mohon maaf nggak bisa dimuat. Sedih, sudah pasti. Apalagi kalau sudah mengirim puluhan naskah. Tapi nggak ada satu pun yang balik. Huhuhu …

Menyerah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun