Entrepreneur sepertinya menjadi salah satu kata yang kini tengah mewakili ambisi kaum muda sebagai Generasi Y dan Z. Alasannya mungkin karena memilih untuk tidak menjadi "BUDAK KORPORAT" dan menjadi "BOS" atas usaha yang dirintis dan dimiliki mampu memberikan kepuasan tersendiri bagi kaum muda yang cenderung tidak suka diperintah. Jiwa entrepreneur sendiri dapat timbul karena memang merupakan cita-cita sejak awal ataupun karena tuntuntan kehidupan yang semakin sulit, seperti Pandemi Covid-19 yang telah memaksa perusahaan untuk memangkas tenaga kerjanya. Namun, terlepas dari segala bentuk motivasi seseorang untuk memilih menjadi wirausahawan, penting bagi mereka untuk mempersiapkan dan membekali diri dengan berbagai macam ilmu yang relevan. Hal tersebut bertujuan agar mereka ataupun kita mampu bertahan menjadi wirausahawan di tengah gempuran persaingan usaha yang semakin menggelora.
Wirausahawan yang dibekali dengan persiapan dan ilmu pengetahuan yang mumpuni akan lebih baik dalam menyusun strategi jangka panjang serta memprediksi risiko yang mungkin dihadapi dalam dunia usaha. Mereka juga akan mampu mengelola input dengan efisien untuk menghasilkan output yang ingin dicapai. Tekait hal ini, Penulis ingin membagikan cerita perjalanan dalam rangka meraih ilmu pengetahuan melalui experiential learning. Â Experiential Learning atau yang sering kali disebut E-Learning ini merupakan metode pembelajaran yang tidak hanya memberikan teori kepada individu namun juga melibatkan keterampilan untuk diterapkan dalam praktik nyata terkait implementasi teori sehingga memberikan pengalaman yang menuju pada pemahaman mendalam sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai secara efektif dan efisien.
E-Learning ini Penulis dapatkan melalui mata kuliah Kewirausahaan yang mewajibkan seluruh mahasiswa untuk membuat suatu project berbasis komersialisasi art dan charity. Dalam mewujudkan project tersebut, setiap mahasiswa yang tergabung dalam kelompok berisikan 10 anggota hanya boleh mengeluarkan dana awal sebesar Rp10.000 selebihnya kelompok dituntut berpikir kreatif dalam mencari dana untuk membiayai project mereka berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki. Contohnya dengan mencari sponsor melalui pengajuan proposal sponsorship kepada pihak-pihak tertentu atau dengan mengenakan biaya pendaftaran di awal bagi peserta yang ingin berpartisipasi dalam project, dengan feedback berupa sertifikat yang dibutuhkan dalam syarat kelulusan. Penulis sendiri tergabung dalam kelompok 2 dengan Project Cilpacastra Sangita.
Cilpacastra Sangita yang diadakan pada Minggu, 11 Juni 2023 merupakan ide gagasan langsung dari kelompok dalam berkolaborasi dengan Archa Project dan Dagadu Yogyatorium yang merupakan penggabungan dari Project Art dan Charity. Cilpacastra Sangita sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta, kata Cilpa berarti berwarna atau pewarna, yang kemudian berkembang menjadi Cilpacastra yang berarti segala macam kekriyaan (hasil keterampilan tangan) yang artistik. Kemudian kata Sangita berarti musik. Jika digabungkan Cilpacastra Sangita memiliki arti, hasil keterampilan tangan yang artistik sembari diselingi musik.
Project Art dalam acara ini adalah Painting Pottery yang merupakan sebuah ide yang direalisasikan melalui goresan warna dengan menggunakan cat akrilik di atas sebuah gerabah yang telah dilapisi cat putih sehingga memudahkan meleburnya warna yang digoreskan pada gerabah. Peserta juga langsung ditutori oleh seniman profesional dari Archa sehingga memudahkan mereka dalam berproses.Â
Selain itu, dalam Project ini juga terdapat acara Live Music yang menghadirkan talent profesional yang bekerja sama dengan pihak kelompok, di mana keseluruhan hasil dana yang terkumpul akan didonasikan untuk kegiatan Charity. Kelompok memilih untuk mengusung tema "Sketch a Happiness" yang berarti "Sketsa Kebahagiaan".Â