Mengapa kita memikirkan sebuah masa dimana kita belum tentu ada di dalamnya, kenapa tidak diri kita di masa depan saja yang memikirkan itu. Toh, hidup yang kita rasakan ya hari ini, katanya.
Lika-liku semester akhirnya itu, membuatnya memilih pulang. Ia mulai fokus mengerjakan skripsi dan akhirnya bisa sidang di bulan Juli kemarin. Kini, di akhir bulan September, ia sedang menikmati menit per menit sebelum ia diwisuda dari sebuah kamar kecil di Wangon.
Tampaknya, laki-laki ini tak terlalu risau dengan wisuda online. Menurutnya, wisuda online adalah hal yang mau tidak mau menjadi satu-satunya pilihan. Merayakan wisuda seperti pada umumnya jelas tak bisa, mengundurkan tanggal sampai pandemi berakhir, lebih tak masuk akal.
Di fase-fase awal, dirinya memang sempat kesal. Mengapa pandemi terjadi di tahun terakhirnya kuliah, atau mengapa pandemi tak diselelesaikan dengan cepat, mengapa seolah pemangku jabatan gagap menghadapinya, atau mengapa kesempatan untuk satu kota dengan perempuan itu tidak terjadi.
Tapi, itu adalah kenyataan yang memang harus dihadapi. Bagaimanapun ia ditolak, tak mengubah apa-apa juga.
Laki-laki ini hanya menyesalkan, harusnya di waktu-waktu seperti ini, ia ada di Semarang. Menghirup dalam-dalam aroma kota itu, membiarkan tubuhnya mengeluarkan keringat saking panasnya udara di sana atau mencoba menghubungi perempuan itu kembali.
Perempuan itu, katanya, pernah punya janji yang masih diingatnya. Perempuan itu berjanji kalau ia akan datang di momen wisudanya. Entah, si perempuan itu masih ingat atau tidak.
"Paling tidak, karena pandemi, wisuda jadi online. Perempuan itu tak perlu meminta maaf karena tidak menepati janji datang di wisudaku."
Aku melihat laki-laki itu menghela napas panjang, selepas kata-kata itu terucap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H