Di luar, langit telah mendung, sudah satu minggu terakhir di Wangon selalu seperti itu. Hari ini saja, sudah beberapa kali hujan turun, reda, turun kembali, reda lagi. Wilayah kecil di selatan Jawa ini mungkin sedang menemui musim penghujan.
Aku sedang duduk di kamar, di sebelah kasur yang tak terpasang seprei. Di dinding, ada figura foto yang tak kuat lagi menahan kenangan, ia jatuh minggu lalu, tak sampai pecah karena jatuh di atas kasur. Di sebelah kiri, ada kipas angin kecil, ia telah berjanji setia sejak kelas dua SMA, hingga kini kata-katanya masih terbukti, meski aku sempat tak sengaja menjatuhkannya sekali.
Lubang telingaku sedang kusumpal dengan headshet yang kutemukan tergetak ditumpukan meja. Beberapa kali, suara motor terdengar, di jam-jam seperti ini orang-orang mulai pulang kantor. Menemui rumah, menemui kehangatan.
Di jam-jam seperti ini, seorang laki-laki tengah menulis, mencoba merekam perasaan. Kurang dari dua puluh empat jam, laki-laki itu akan menuntaskan masa kuliahnya. Jika dunia normal, laki-laki itu saat ini sedang ada di Semarang. Ia mungkin memilih duduk di Taman Budaya Raden Saleh, memesan es susu sirup.
Duduk di jembatan kecil, di sebelah pohon besar di sana. Waktu-waktu seperti ini, adalah waktu-waktu genting. Harusnya laki-laki itu sibuk merekam semua hal tentang Semarang. Mengunjungi kembali warung kopi di dekat Sam Poo Kong, nasi pecel di Lemah Gempal, memesan kembali nasi goreng sebelah kontrakan, atau warung lamongan di samping Banjir Kanal Barat.
Tetapi toh, saat ini dunia sedang murung. Laki-laki itu, sekarang, nyatanya hanya berada di sebuah kamar, pikiranya saja yang melayang.
Aku duduk di samping laki-laki itu, ia bukan sosok yang ramai, tetapi lain kalau sedang sendiri. Pelan-pelan ia mengajaku mengobrol. Membicarakan awal tahunnya yang menyenangkan, hingga hari-hari terakhir sebelum ia diwisuda.
Di awal tahun misalnya, ia diterima untuk magang di sebuah media di Kota Jakarta. Kota ini, selain menjadi pusat media-media nasional tumbuh, juga menjadi kota yang menjadi tempat hidup perempuan yang ia sukai.
Awal tahun itu, laki-laki ini mengawalinya dengan sebuah kabar gembira tersebut. Antusias, begitu aku melihat laki-laki ini saat bercerita tentang Jakarta, media, dan magang yang menurutnya waktu itu akan menjadi momen spesial yang sulit dilupakan. Namun, apa daya, takdir itu tak seperti busur panah, barangkali ia seperti bola plastik yang dimainkan anak-anak.
Kesempatan untuk magang di Jakarta, untuk satu kota dengan perempuan itu tidak terjadi. Magangnya tetap jadi, hanya saja ia dipindah ke Semarang. Di Semarang, baru dua bulan, magangnya terpaksa diakhiri karena ada pandemi.
"Kita mungkin sedang dipaksa untuk hidup hari ini, dan berhenti memikirkan masa depan." Kata laki-laki itu.