Menyajikan buku--buku baru di rak perpustakaan mungkin bisa menjadi alternatif menjaring para pembaca baru, ruangan yang nyaman dan tempat baca yang asik bisa jadi pilihan untuk mereka yang masih malas datang ke perpustakaan dan baca buku.
Di perpustakaan, saya tak menemukan buku yang cocok untuk saya baca. Yasudah, menyisihkan uang saku untuk membeli bacaan menjadi budaya yang saya mulai sejak SMA. Paling tidak sebulan satu buku.
Sejalan dengan itu, asupan kata--kata yang saya baca semakin banyak, saya pun mulai memberanikan diri untuk menulis. Dinding kamar saya menjadi ajang percobaan untuk menuangkan kata--kata. Saat itu sedang terpapar radiasi jatuh cinta, otomatis yang saya tulis ya kecantikan si doi waktu nggak sengaja berpapasan di kantin hehehe
Tetapi muncul masalah baru, ketika ada teman masuk ke dalam kamar kos. Saya pun membereskan kertas--kertas yang menempel di dinding kamar. Malu rasanya, takut tulisan saya dianggap jelek.
Ternyata ketakutan itu terus berlanjut bahkan sampai saya kuliah, saat dunia media sosial sudah menjadi dunia kedua kita. Tulisan saya mulai kutulis ulang di caption media sosial dan di blog pribadi saya.
Semua baik--baik saja sebelum negara api menyerang. Eh, maksudnya sebelum netizen yang budiman ini datang di kolom komentar. Di bilang bucin, makhluk curhat, manusia baperan menjadi hal yang sering di alamatkan pada saya, bahkan mungkin kepada orang lain yang sedang mulai belajar menulis.
Efeknya? banyak tulisan yang nggak jadi dipublikasikan. Betapa sulit mencoba menuliskan kata--kata, tetapi orang lain begitu gampang menghantamnya.
Budaya baca yang rendah di negara kita ini ternyata berbanding lurus dengan budaya komentar jelek akan orang lain.
Syedih lur~~~
(Esai ini pertama kali terbit di Nyimpang.com dengan judul yang sama)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H