Mohon tunggu...
CHEISA ALFII YUDHA NASRULLOH
CHEISA ALFII YUDHA NASRULLOH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa - Universitas Airlangga - S1 Kedokteran Hewan

ADVENTURER

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kaya vs Kekayaan

9 Juli 2023   10:35 Diperbarui: 9 Juli 2023   10:38 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalian sepakat ngga sih dengan peryataan "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin". Jika hanya sekedar membaca tanpa mengerti maksud dari pernyataan ini, mungkin saja kita akan langsung menolak pernyataan ini. Namun setelah saya membedah maksud dari pernyataan ini, saya jadi percaya akan kebenaran pernyataan ini. Maka dari itu, mari kita bedah apa maksud dari pernyataan ini.

Disclaimer terlebih dahulu, apa yang saya tuliskan ini adalah hasil pemikiran saya berdasarkan referensi yang saya dapat. Mungkin saja di dalam penulisan ini, kalian sebagai pembaca akan menemukan titik tidak sepakat setelah membacanya. Namun, bagi saya itu tidak menjadi masalah. Saya akan sangat senang, jika kita bisa untuk saling bertukar pikiran di antara ketidakcocokan tersebut. Karena hakikatnya, semua manusia tercipta dengan berbagai pemikiran yang berbeda-beda.

Mari kita mulai dengan mendefinisikan dua kata inti dari pernyataan ini, kaya dan miskin. Berdasarkan KBBI, kaya adalah mempunyai banyak harta, sedangkan miskin adalah tidak berharta; serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah). Menurut KBBI, orang yang memiliki banyak harta adalah orang yang kaya, walaupun indikator banyak itu bersifat relatif. Tidak semua orang memiliki indikator yang sama tentang banyaknya harta. Sedangkan orang miskin, menurut KBBI adalah orang yang serba kekurangan. Ketika seseorang merasa dia kurang atau belum tercukupi kebutuhannya, maka dia termasuk kategori orang miskin. Walaupun, indikator miskin juga berbeda di setiap orangnya.

Setelah memahami definisi dari kedua kata tadi, saya akan mengajak anda untuk berpikir tentang tulisan Morgan Housel. Di dalam bukunya berjudul "The Psychology of Money", ada perbedaan antara kaya dan kekayaan. Menurut pemahaman saya berdasarkan tulisannya, dia mendefinisikan kaya sebagai apa yang kita punya dan terlihat oleh orang lain. Sedangkan, definisi kekayaan menurutnya adalah apa yang kita punya namun tidak terlihat oleh orang lain.

Kita sering menjumpai orang-orang dengan pakaiannya yang bermerek, kendaraan yang mahal, dan jajanan yang sering dia beli dengan harga yang tinggi. Kita sepakati saja bersama bahwa, dia termasuk di dalam definisi orang kaya. Namun yang perlu kita ketahui, kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di belakangnya. Bagaimana dia mengelola keungannya di belakang kita adalah sebuah misteri untuk kita.

Lalu coba kita melihat diri kita sendiri. Sebagai manusia yang pernah merasakan masa abu-abu di SMA, saya pernah berpikir bahwa saya adalah siswa yang keren di sekolah saya waktu itu. Hal itu karena, saya pernah bergelut di dunia bisnis dan memiliki penghasilan sendiri sejak umur saya yang ke-15. Dengan tingkah laku kekanak-kanakan di masa itu, uang yang saya dapatkan dari bisnis selalu saya gunakan untuk membeli barang-barang bermerek dan tidak pernah sekalipun untuk berpikir menabungnya. Hal ini saya lakukan agar saya terlihat kaya dan keren di mata teman-teman saya. Lambat laun saya sadar, saya tidak pernah terlihat kaya di mata teman-teman saya, karena sebenarnya tidak ada yang peduli akan hal itu, dan tidak semua orang harus memberikan validasi kepada saya. Alhasil, saya tidak pernah merasa kaya dan kekayaan saya hilang pada masanya.

Beralih kepada cerita yang lain, apakah kalian ingat dengan Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Warga desa Sumurgeneng menjadi kaya mendadak setelah Pertamina membeli lahan untuk membangun Kilang Minyak Tuban. Rata-rata warga Desa Sumurgeneng Tuban mendapatkan uang ganti rugi lahan untuk proyek pembangunan kilang minyak sebesar Rp 8 miliar. Namun setelah satu tahun, beberapa warga Sumurgeneng jatuh miskin karena tidak ada lagi sumber penghasilan yang mereka bisa dapatkan sebagaimana mana saat mereka bisa menggarap lahan pertaniannya.

Adanya fenomena itu, Pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM Hempri Suyatna angkat suara. Dia menilai fenomena munculnya warga kampung miliarder Tuban yang tiba-tiba menjadi jatuh miskin menunjukkan adanya fenomena culture shock atau gegar budaya yang tidak dapat dikelola dengan baik. Dia berpendapat, seharusnya para warga dapat berpikir panjang tentang segala keputusan yang mereka buat. Dia juga berpendapat, seharusnya pihak perusahaan dan pemerintah memberikan edukasi kepada warga agar dapat menggunakan dana kompensasi yang telah mereka terima, mengingat mata proyek ini mempengaruhi mata pencarian mereka.

Di buku "The Psychology of Money" karya Morgan Housel, di jelaskan kiat-kiat agar kita mampu mengelola keuangan dengan baik dan menghindari kejadian seperti kisah di atas tadi. Dia menjelaskan, kemampuan untuk mengatur keuangan tidak berhubungan dengan seberapa pintar kita, namun berhubungan bagaimana kita berperilaku. Dia berpesan agar kita tidak hanya terlihat kaya di mata orang lain, namun juga menjadi orang yang benar-benar memiliki kekayaan. Dia juga berpesan agar kita selalu menabung di segala kondisi, baik disaat hendak menabung karena suatu alasan maupun tidak. Hal ini karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada kita di masa yang akan datang. Saya akan sangat amat menyarankan untuk kalian semua membaca buku ini. Karena menurut saya, buku ini sangat memberikan pengetahuan yang baru tentang keuangan.

Kesimpulan yang dapat diambil setelah pembahasan panjang ini adalah, baik seseorang yang merasa kaya maupun merasa miskin, perlu memahami konsep dalam pengaturan keuangan. Untuk memahami konsep ini, ditentukan bukan berdasarkan kepintaran kita namun ditentukan bagaimana kita berperilaku. Bisa saja, orang yang memiliki banyak harta akan merasa dia miskin dan bisa saja, orang yang hartanya masih belum banyak sudah menganggap dia kaya. Sehingga, pernyataan "yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin" dinilai bukan dari banyaknya harta, namun pemahaman kita memahami tentang konsep kepemilikan uang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun