Bermodalkan Kep. Menko Perek. Â no. 7/2023, Peng-Peng bergerak cepat. Puncaknya 7 September 2023, dengan mengerahkan aparat Satpol PP, Brimob, di back up TNI, bergerak ingin memasang patok batas untuk menggusur penduduk di 16 desa Pulau Rempang. Timbul perlawanan rakyat, yang memakan korban puluhan warga luka-luka. Gas air mata menyasar sekolah, murid dan guru ikut panik. Kemarahan rakyat Rempang berlanjut senin 11 September 2023, menyasar kantor BP Batam dengan jumlah masa yang besar. 43 orang ditangkap. Mereka protes karena akan digusur dan dipindahkan ke Pulau Galang.
Persoalan rencana penggusuran melayu Rempang hangat dibicarakan pada level pusat. Presiden Jokowi mengatakan itu hanya persoalan komunikasi,. Menko Polhukam mengatakan melayu Rempang bukan digusur, cuma dimintakan untuk mengosongkannya ke tempat lain yang lebih baik di Pulau Galang. Diberikan lahan 500 meter persegi, dan rumah tipe 46. Kelihatanya melayu Rempang sudah tidak percaya lagi dengan janji-janji Pemerintah. Â Â
5 solusi Bahlil                                                                                   Â
Pada kesempatan Konprensi Pers, Menteri Investasi/Kepala BKPM, di kantornya, Jakarta, Senin (25/9/2023).memastikan  tidak ada limit waktu 28 September 2023 batas relokasi melayu Rempang. Sehingga diharapkan masyarakat tenang.
Ada 5 janji Menteri "Heroik" ini kepada masyarakat melayu Rempang. Pertama; mereka sedikit digeser dari tempat tinggalnya ke Tanjung Banon, itu masih di Rempang, hanya 3 kilo (Km). Apa bedanya digeser dengan relokasi atau pengosongan?. Kalau hanya berjarak 3 KM pergeserannya, apa urgensinya pergeseran itu? Kenapa tidak dibiarkan saja ditempat yang sekarang? Tidak ada kejelasan dari  Bung Bahlil soal ini.
Kedua;Â masyarakat Rempang yang terdampak relokasi juga tidak menginginkan kuburan leluhurnya dipindahkan. Dia pun mengaku setuju, sehingga kuburan para leluhur masyarakat Rempang akan dipugarkan supaya mereka tetap bisa ziarah. Soal kuburan ini juga perlu dipastikan, apakah diperbolehkan untuk menguburkan jenazah penduduk melayu Rempang yang pindah ke Tanjung Banon? Karena yang hidup saja digeser, apalagi yang sudah meninggal dunia.
Ketiga; kata Bahlil, masyarakat Rempang sangat menerima investasi untuk pengembangan wilayahnya, maka dia menjanjikan supaya hak-hak masyarakat terpenuhi ketika digeser ke Tanjung Banon. Beberapa di antaranya diberi kompensasi rumah dan lahan hingga biaya sewa selama rumah dan lahan mereka dibangun di Tanjung Banon.
Pertanyaan mendasarnya, apakah investasi untuk pengembangan wilayah harus menggeser atau merelokasi penduduk adat yang sudah ratusan tahun ada di situ. Jika ada dana untuk membangun rumah, kenapa tidak dipercantik saja rumah rumah melayu Rempang dengan tetap menjaga arsitektur bangunan yang ada? Dan bisa dijadikan wisata kuliner? Apa tidak mungkin memadukan dan kolaborasi dunia industri dengan masayrakat lokal. Sebagai bukti nyata bahwa investasi tidak harus dengan menggusur.
Keempat; Bahlil mengungkapkan keinginan masyarakat adalah hanya digeser tempat tinggalnya yang masih di pulau Rempang. Maka dijanjikan lokasi Tanjung Banon dengan luas lahan 500 m2 dan rumah tipe 45 seharga Rp 120 juta dan dana Rp1,2 juta per orang untuk sewa rumah sementara, serta Rp 1,2 juta untuk biaya hidup seperti makan untuk 900 KK.
Perlu dilakukan konfirmasi, apa benar melayu di pulau Rempang itu mau digeser ke Tanjung Banon. Tidak perlu dijanjikan yang muluk-muluk. Diberikan saja mereka modal kerja, perahu nelayan yang modern. Orang melayu itu tidak anti dengan modernitas, hanya karena kemiskinan yang menyebabkan mereka tidak bisa mengikuti modernitas.
Kelima;Â masyarakat Rempang juga meminta supaya tidak hanya dijadikan objek relokasi, melainkan turut disertakan menjadi pengusaha di tempat itu. Dia pun menyanggupinya dengan memastikan mereka terlibat.