Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Akreditasi Klinik Pratama, Antara Kewajiban dan Kelayakan

17 Agustus 2022   23:57 Diperbarui: 18 Agustus 2022   17:52 2277
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Klinik Pratama| Dok Humas Kemnaker via Tribunnews.com

Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 169,8 triliun untuk sektor kesehatan dalam rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) 2023. APBN yang disiapkan tahun depan sebesar Rp3.041,7 triliun.

"Anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp 169,8 triliun atau 5,6% dari belanja negara," kata Presiden Joko Widodo dalam pidato kenegaraan RAPBN 2023 dan Nota Keuangannya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (16/8).

Jumlah tersebut sesuai dengan perintah UU Tentang Kesehatan. Pemerintah harus mengalokasikan minimal 5% dari APBN untuk sektor kesehatan. Tetapi jangan lupa, bahwa alokasi itu termasuk keberlangsungan JKN untuk pembiayaan PBI yang lebih dari Rp40 triliun. Secara ril sektor kesehatan itu dibiayai sebesar Rp129,8 triliun (4,3%), tetapi lebih baik, dari pada tahun-tahun sebelumnya sekitar 3,5%,

Pembiayaan JKN untuk PBI itu sebenarnya masuk dalam sektor Jaminan Sosial merujuk pada UU SJSN, sedangkan belanja sektor kesehatan merujuk UU Tentang Kesehatan. Artinya kamar belanjanya berbeda.

Menkes Budi Gunadi Sadikin dengan cepat membagi alokasi Rp169,8 triliun itu diproyeksikan Rp88,5 triliun untuk transformasi kesehatan. Sekitar 52,1% dari alokasi APBN sektor kesehatan, atau 68,1% jika dikurangi belanja untuk PBI.

Sebagaimana kita ketahui, Kemenkes telah merumuskan 6 pilar transformasi pelayanan kesehatan sampai tahun 2024, untuk recovery pasca pandemi Covid-19 dan masuk dalam fase endemi.

Apa saja rincian penggunaan transformasi kesehatan itu, sebagai berikut: 

Pertama; Dialokasikan senilai Rp6,06 triliun untuk layanan primer melalui edukasi penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder, serta meningkatkan kapasitas dan kapabilitas layanan primer.

Kedua; Transformasi layanan rujukan sebesar Rp18,15 triliun melalui peningkatan akses dan mutu layanan sekunder dan tersier

Ketiga; Transformasi sistem ketahanan kesehatan senilai Rp1,48 triliun untuk meningkatkan ketahanan sektor farmasi dan alat kesehatan serta memperkuat ketahanan tanggap darurat.

Keempat; Transformasi sistem pembiayaan kesehatan senilai Rp49 triliun dengan tiga tujuan, yakni tersedia, cukup, dan berkelanjutan, alokasi yang adil, serta pemanfaatan yang efektif dan efisien.

Kelima; Transformasi sumber daya manusia kesehatan dianggarkan Rp4,18 triliun yang akan digunakan dalam penambahan kuota mahasiswa, beasiswa dalam dan luar negeri, serta kemudahan penyertaan tenaga kesehatan dalam dan luar negeri

Keenam; Anggaran transformasi teknologi kesehatan dialokasikan Rp540 miliar untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi, digitalisasi, dan bioteknologi di sektor kesehatan.

Tulisan ini terfokus pada pilar pertama, transformasi pelayanan kesehatan primer. Dengan besaran anggaran Rp6.06 triliun. kegiatannya mencakup 4 hal yakni edukasi penduduk, pencegahan primer, pencegahan sekunder, serta meningkatkan kapasitas dan kapabilitas layanan primer.

Edukasi penduduk masih sangat diperlukan untuk mengubah perilaku hidup sehat dan juga mencegah stunting. Pencegahan primer dan sekunder antara lain supaya Upaya Kesehatan Masyarakat terus ditingkatkan dan kapasitas dan kapabilitas layanan primer sebagai Upaya Kesehatan Perorangan berujung pada mutu pelayanan primer dan kepastian pelayanan pasien di faskes primer sebagai gate keeper.

Salah satu strategi pemerintah untuk meningkatkan mutu, kapasitas, dan kapabilitas faskes primer adalah dengan menyelenggarakan akreditasi faskes primer sesuai dengan Permenkes No, 46/2015 dan Permenkes lainnya meliputi Puskesmas, Klinik Pratama, Laboratorium Kesehatan dan Unit Transformasi Darah, termasuk juga praktek mandiri dokter, dan dokter gigi.

Mengacu data dari BPJS Kesehatan per Juni 2022, jumlah FKTP yang bekerja sama dengan dengan BPJS Kesehatan adalah 23.404 unit. Sejumlah 10.200 diantaranya adalah Puskesmas, dan 13.204 Klinik Pratama. Walaupun sebenarnya jumlah Klinik Pratama di Indonesia jauh lebih banyak, tapi tidak ada data yang pasti.

Bagi Puskesmas cakupan akreditasi sudah hampir 100%, bahkan saat ini sudah pada tahap reakreditasi. Persoalan yang masih menjadi masalah adalah hampir semua Klinik Pratama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan belum diakreditasi.

Persoalan semakin berat, setelah BPJS Kesehatan "mengancam" akan mengakhiri kerja sama dengan Klinik Pratama yang sampai Februari 2023 belum terakreditasi. Berita itu menyebabkan banyak Klinik Pratama yang cari informasi tentang Lembaga Penyelenggara Akreditasi yang ditetapkan Kemenkes.

Saat ini sudah ada 13 LPA untuk Faskes Primer (PKLU) yang diajukan ke Kemenkes, dan sudah diverifikasi dan validasi pertengahan Juli 2022 yang lalu. Kemenkes belum memutuskan status 13 lembaga LPA itu. Apa sebabnya hanya Pak Menteri yang tahu. Tetapi mungkin juga aturan pelaksanaan berupa permenkes sebagai pengganti atau penyempurnaan Permenkes 46/2015 belum selesai dirumuskan.

Problematika Klinik Pratama

Sejak era JKN, memang Puskesmas yang paling merasakan manfaat JKN dengan mendapatkan kapitasi dengan cakupan peserta kapitasi yang luas (gemuk), juga mendapatkan dana APBD sebagai biaya operasional Puskesmas.

Karena Perpres JKN bunyinya Puskesmas wajib menjadi mitra BPJS Kesehatan bagaimanapun kapasitas dan kapabilitasnya, dan mendapatkan kapitasi Rp. 6.000/POPB (PerOrang PerBulan).

Perlu diketahui, perintah UU SJSN, BPJS Kesehatan itu bekerja sama dengan Faskes bersifat sukarela. Sudah saatnya Perpres JKN direvisi menyesuaikan dengan amanat UU SJSN, dan faskes sektor swasta saat ini sudah siap dan berminat untuk bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.

Persoalan yang dihadapi Klinik Pratama saat ini adalah terbatasnya SDM baik jumlah maupun kompetensinya. Walaupun klinik tersebut berupaya meningkatkan kualitas pelayanannya untuk kepuasan pasien.

Banyak Klinik Pratama yang mengeluh, sudah mempersiapkan Klinik Pratama dengan baik dan standar, mengangkat tenaga medis dan non medis sesuai kebutuhan, tetapi pada saat diajukan bekerja sama dengan BPJS Kesehatan hanya mendapatkan quota kapitasi di bawah 5.000 peserta, bahkan ada yang hanya 1.000 peserta. Puskesmas di depan mata cakupan kapitasinya bisa sampai 50.000 peserta.

Menurut pihak BPJS Kesehatan, sulitnya redistribusi peserta kapitasi dari Puskesmas ke klinik terbentur pada kesulitan mendapatkan rekomendasi dari dinas kesehatan setempat.

Persoalan redistribusi kapitasi ini, harus segera ada solusi. Kemenkes harus turun tangan mengadvokasi Pemda Kabupaten/Kota supaya dapat dicari jalan keluar yang adil.

Jika redistribusi kapitasi dapat berjalan baik dan adil, maka Klinik Pratama akan mendapatkan biaya yang cukup untuk menjalankan operasional kliniknya sesuai dengan standar yang diinginkan. Menurut info saat ini baru dilakukan uji coba di Bali di dua kabupaten Klungkung dan Singaraja.

Adanya kewajiban akreditasi bagi Klinik Pratama yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan tentu mendorong Klinik Pratama untuk berbenah diri. Tetapi disisi lain persoalan cakupan kapitasi (JKN) pihak BPJS Kesehatan harus proaktif juga berkolaborasi dengan dinkes setempat demi peningkatan cakupan dan mutu pelayanan primer bagi peserta JKN.

Jika cakupan kapitasi itu proporsional dan sesuai dengan nilai keekonomian, maka Klinik Pratama tentu cukup punya biaya untuk diakreditasi serta persiapan persyaratan yang harus dipenuhi untuk suatu akreditasi faskes primer.

Diharapkan Kemenkes tidak berlama-lama menetapkan LPA yang sudah memenuhi syarat sebagai Penyelenggara Akreditasi Primer (PKLU). 13 LPA yang ada saat ini termasuk Lafkespri (Lembaga akreditasi faskes primer), sudah mempersiapkan sistem teknologi informasinya, termasuk web Lafkespri dan LMS (Learning Management System) sebagai wadah komunikasi dengan para surveior yang sudah bergabung dengan Lafkespri dan calon surveior.

Saat ini Lafkespri terus bergerak dan bekerja menyelenggarakan workshop berseri tentang PPI (5 seri), dan mengadakan seleksi calon surveior. Dari 1.600 calon surveior, sudah diseleksi wawancara 330 casur, dan tanggal 19 s/d 21 Agustus 2022 ada 988 casur yang diwawancarai dari seluruh korwil provinsi. 

Maju terus lafkespri, demi terjaminnya mutu pelayanan pasien.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun