Peran Gatekeeper dalam sistem kesehatan mirip dengan Goalkeeper dalam suatu permainan bola kaki, peranan penjaga gawang atau kiper menjadi sangat penting dan menentukan untuk menahan goal pada gawang. Tidak ada gunanya penyerang yang handal, tetapi saat mengalami serangan balik, kipernya lebai. Penonton pasti kecewa.
Dalam kesehatan, jika Gatekeeper di FKTP lebai, maka RS sebagai Faskes Rujukan akan babak belur melayani pasien yang "dilepas" FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama), disebut juga Faskes Primer. Sebagai Gatekeeper melakukan skrining untuk menyaring setidaknya mengurangi serbuan masyarakat yang ingin langsung ke rumah sakit untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang mereka inginkan.
Kenapa perlu adanya Gatekeeper? Sebab pembiayaan kesehatan di Rumah Sakit itu mahal, padahal penyakit yang perlu diobati tidak  perlu dilakukan di Rumah Sakit, cukup di FKTP dengan biaya yang lebih murah. Bahkan mungkin tidak perlu ada tindakan medis jika promosi kesehatan dilakukan secara optimal oleh FKTP.
Dalam konsep sistem kesehatan, Gatekeeper di FKTP itu dimaksudkan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang berperan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dasar berfungsi optimal sesuai standar kompetensinya dan memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar pelayanan medik.
Kita berhadapan dengan situasi masyarakat yang ingin mengakses pelayanan kesehatan bukan sekedar yang dibutuhkan (pelayanan kesehatan dasar)  tetapi yang diinginkannya (spesialistik). Akibatnya biaya kesehatan menjadi mahal, belum lagi potensi terjadinya moral hazard bahkan fraud.Â
Membangun budaya hidup sehat dikalangan masyarakat, merupakan tugas yang juga sangat penting dilakukan oleh FKTP yang sering disebut dengan Upaya Kesehatan masyarakat (UKM), disamping peranannya melakukan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) secara proporsional.
Sangat tepatlah apa yang diutarakan Menkes Budi Gunadi Sadikin, dalam konsep Transformasi Sistem kesehatan pada tahun lalu, yang dimulai dari tahun 2021 hingga 2024, dengan berfokus pada 6 bidang yakni; transformasi layanan primer, transformasi layanan rujukan, transformasi sistem ketahanan kesehatan, transformasi sistem pembiayaan kesehatan, transformasi SDM kesehatan dan transfromasi teknologi kesehatan.
Keenam bidang transformasi itu, atau kita sebut juga 6 pilar transformasi kesehatan dikelompokkan dalam 2 kategori yaitu kategori program utama dan program mendasar. Kedua kategori ini komplementari dengan berbagai strategi pendekatan yang spesifik sesuai karakter dan kebutuhan program.
Kita mencermati transformasi layanan primer berada diurutan pertama, tentu juga langkah pertama untuk menuju langkah berikutnya. Menkes mengelaborasi transformasi layanan primer dengan memperkuat aktivitas promotif preventif untuk menciptakan lebih banyak orang sehat, memperbaiki skrining kesehatan serta meningkatkan kapasitas layanan primer.
Menkes menitik beratkan pada aktivitas promotif dan preventif itu bertujuan agar  masyarakat tetap berada dalam keadaan sehat. Diikuti  secara simultan perbaikan  skrining kesehatan dan peningkatan kapasitas layanan primer.
Penjelasan Menkes itu sangatlah tepat, dan dapat disederhanakan dengan satu kata kunci "Layanan Primer sebagai Gatekeeper".
Pemerintah menyadari, bahwa Sistem Kesehatan tidak cukup dan tidak mungkin selesai di Layanan Primer. Kelima transformasi sistem kesehatan lainnya sangat diperlukan dalam bentuk; Layanan Rujukan, Sistem Ketahanan Kesehatan, Sistem Pembiayaan Kesehatan, penguatan SDM Kesehatan dan pengembangan Teknologi Kesehatan.
JKN merupakan program strategis yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS, untuk memperbaiki dan memperkuat Layanan Primer dan Rujukan dengan pola pembiayaan melalui sistem iuran peserta JKN (Contribution base). Memang JKN lebih difokuskan pada UKP sebagai bentuk pelayanan kuratif, walaupun ada  upaya promotif dan preventif tapi dalam skala kecil dan perorangan. Skala besar (masyarakat)  masih menjadi tanggung jawab pemerintah melalui berbagai program UKM.
Agar fungsi Gatekeeper di Faskes Primer dapat maksimal dalam Transformasi Sistem kesehatan, maka struktur pembiayaan kesehatan dalam APBN maupun APBD perlu  dilakukan review, untuk menuju  masyarakat Indonesia yang sehat.
Ada dua pertanyaan penting yang perlu segera dijawab. Pertama; Apakah proporsi pembiayaan kesehatan dalam APBN dan APBD sektor kesehatan sudah menempatkan upaya promotif dan preventif secara proporsional? Kedua; Apakah perintah UU 36/2009 tentang Kesehatan yang mewajibkan 5% dari APBN digunakan untuk sektor kesehatan sudah dilaksanakan?
Pertanyaan pertama, semua aparatur kesehatan di pusat maupun di daerah akan memberikan jawaban yang sama. Belum proporsional. Program Promkes (promotif dan preventif) akan "dikalahkan" jika berhadapan dengan program kuratif dan rehabilitatif.
Bahkan dalam perencanaannya saja, alokasi Promkes jauh lebih kecil dibandingkan Layanan Rujukan. Hal ini karena unit cost komponen Layanan Rujukan lebih besar, dibarengi dengan pasien ke rumah sakit meningkat tajam sejak era JKN, kecuali 2 tahun terakhir karena wabah Covid-19.
Potret APBN Sektor kesehatan itu, juga mewarnai APBD Sektor kesehatan di Propinsi dan Kabupaten/Kota yang menganggarkan minimal  10% dari APBD di luar gaji, untuk sektor kesehatan.
Lantas, sesuai dengan pertanyaan kedua, alokasi 5% dari APBN sektor kesehatan apakah secara nyata digunakan untuk sektor kesehatan?
Mari kita cermati, belanja APBN di sektor kesehatan. 5% dari APBN 2021 ( Rp 2.750 triliun) , berarti sebesar Rp. 137,5 Triliun. Dari alokasi sebesar Rp. 137.5 Triliun, lebih dari Rp. 40 Triliun digunakan untuk belanja Penerima Bantuan Iuran (PBI) JKN untuk orang miskin dan tidak mampu sesuai  amanat UU SJSN, bukan mengacu pada UU Kesehatan.
Idealnya PBI JKN  dalam struktur Perlindungan Sosial APBN bukan dimasukkan pada sektor kesehatan tetapi sektor jaminan sosial yang sampai saat ini Kementerian Keuangan belum mencantumkan  nomenklatur itu, padahal ada dalam UU SJSN.
Implikasinya, anggaran Rp. 137,5 Triliun, berkurang sekitar 1,5%, sisanya sekitar  Rp. 97 Triliun atau sekitar 3,5%. Maknanya kewajiban alokasi 5% dari APBN untuk sektor kesehatan (sesuai amanat UU 36/2009) belum dipenuhi.
Jika Pak Menkes dapat memperjuangkan agar Pemerintah dapat memenuhi kewajiban sesuai UU Kesehatan, maka akan masuk dana APBN sektor kesehatan sekitar Rp. 40 Triliun, dan keseluruhannya dapat dialokasikan untuk Pelayanan Primer dengan mengedepankan promotif dan preventif kesehatan, maka peran Gatekeeper Faskes Primer akan dapat lebih dihandal kan.
Dengan dana yang cukup, peningkatan mutu Faskes Primer yang berjumlah lebih 25 ribu (PKM, Klinik, Laboratorium, UTD) melalui sertifikasi akreditasi oleh LIPA (Lembaga Independen Penyelenggara Akreditasi) akan tercapai tahun 2024 sebagaimana yang direncanakan pemerintah.
Kita mencermati, saat ini untuk merespons kebijakan pemerintah diatas, beberapa LIPA sudah dibentuk oleh ahli-ahli kesehatan masyarakat profesional, diantaranya adalah Lembaga Akreditasi Fasilitas Kesehatan Primer (LAFKESPRI), yang pada tanggal 21 Mei 2022 lalu melaksanakan Webinar " Sosialisasi Lafkespri dan Pencegahan & Pengendalian Infeksi di FKTP"Â yang diikuti 1.000 peserta (Klinik dan Puskesmas) Â dan 800 lebih melalui Youtube.
Kita optimis, masyarakat sehat dapat diwujudkan, dan pilar-pilar transformasi sistem kesehatan lainnya dapat berfungsi kokoh untuk mengimplementasikan visi Presiden "mewujudkan masyarakat sehat, produktif, mandiri dan berkeadilan".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H