Setelah membaca berbagai protes yang disampaikan oleh Said iqbal, Jumhur Hidayat, dan aktivis buruh lainnya, isinya memang sangat pedas dan menohok Menaker Ibu Ida Fauziyah, karena menerbitkan Permenaker Nomor 2 tahun 2022, tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua, yang diterbitkan tanggal 2 Februari 2022.
Mencermati isu itu, saya teringat kembali artikel saya di Jurnal  Sosio Informa Vol. 3,  No. 03, September - Desember, Tahun 2017,  dengan judul "KOMITMEN NEGARA DALAM MEMBERIKAN JAMINAN HARI TUA BAGI PEKERJA"  yang pada kesimpulan dan rekomendasinya adalah;
- Pemerintah  dalam  hal  ini  Menteri  Tenaga  Kerja   disarankan   mencabut   Peraturan   Menteri  Tenaga  Kerja  Nomor  19  tahun  2015  Tentang  Tata  Cara  dan  Persyaratan  Pembayaran  Manfaat  Jaminan  Hari  Tua,  karena   bertentangan   dengan peraturan   perundang-undangan di atasnya.Â
- PP  60  Tahun  2015  juga  perlu  direvisi,  dan  langsung saja merujuk pada Pasal 35,36,37 dan  38  UU  SJSN.  Dalam  revisi tersebut  juga  perlu  diatur  mekanisme  masa  transisi  untuk  pembayaran  klaim  JHT  yang  masa  iurnya dibawah 10 tahun.
- BPJS  Ketenagakerjaan  harus  melakukan  advokasi  dan  sosialisasi  secara  massif  tentang  filosofi  dan  manfaat  JHT bagi Pekerja, agar hari tua mereka menjadi lebih terjamin kehidupannya.
- Manajemen  BPJS  Ketenagakerjaan menyusun sistem dan prosedur operasional yang diperlukan untuk beroperasinya BPJS KetenagakerjaanÂ
 Setelah empat tahun pemerintah mempelajarinya, dan kondisi sudah memungkinkan barulah pemerintah dalam hal ini Menaker mencabut Permenaker 19/2015 itu dengan menerbitkan Permenaker Nomor 2/ 2022.
 Saya terkaget juga, beberapa tokoh buruh protes dan meminta pencabutan Permenaker 2/2022, terutama terkait dengan klaim JHT karena PHK, tidak perlu menunggu usia pensiun (56 tahun).
 Bagaimana sebenarnya pengaturan menurut UU SJSN untuk JHT, itu diatur dalam 4 pasal yaitu pasal 35, 36, 37, dan 38.  Yang menjadi wilayah sengketa adalah pasal 37 ayat (1) .Â
Pada ayat (1) menyatakan bahwa: "Manfaat jaminan hari tua berupa uang tunai dibayarkan sekaligus pada saat peserta *memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap*", UU itu membatasi syarat JHT diambil, yaitu pensiun, atau meninggal dunia atau cacat total tetap ( walaupun belum usia pensiun).
Dalam pengaturan lebih lanjut pada PP 46/2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua, pada pasal 26 ayat (3) Â menjabarkan pasal 37 ayat (1) UU SJSN, yang menegaskan bahwa pekerja yang terkena PHK atau berhenti sebelum usia pensiun, JHT diberikan pada saat mencapai usia 56 tahun (usia pensiun).
Pada saat itu (2015), serikat buruh memprotes ketentuan pasal 26 ayat (3), walaupun pasal itu sesuai dengan pasal 37 ayat (1), bahwa JHT diberikan pada saat usia pensiun, sesuai dengan tujuannya memberikan jaminan hati tua berupa uang tunai pada saat tidak bekerja karena pensiun.
Pemerintah dalam hal ini Menaker ( Hanief Dhakiri), tidak tahan  dengan gelombang demo buruh, diterbitkan PP perubahan yaitu PP Nomor. 60/2015, yang memperbaiki pasal 26  ayat (5), mendelegasikan wewenang kepada Menaker mengatur tata cara dan persyaratan pembayaran manfaat JHT, melalui Peraturan Menteri Tenaga kerja.
Tidak menunggu waktu lama, Menaker menerbitkan Permenaker nomor 19/2015, tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat  JHT, yang pada pasal 5 dan pasal 6 memberikan kelonggaran bagi pekerja yang mengundurkan diri atau terkena PHK, dapat segera mencairkan JHT secara tunai dalam waktu 1 bulan sejak  pemberhentian.