Marahnya seorang Presiden kepada para anggota Kabinetnya, maupun Kepala  Lembaga Non Kementerian, merupakan se suatu keharusan dan kewajaran dalam struktur organisasi pemerintahan. Itu namanya kemarahan struktural.
Sudah dapat dipastikan, setelah selesai sidang Kabinet Indonesia Maju tanggal 18 Juni 2020 yang lalu, sore atau malamnya para Menteri yang langsung terkait maupun tidak langsung dengan persoalan Covid-19, yang membuat Presiden jengkel, akan mengadakan rapat dengan para pejabat Eselon I, yang juga mungkin dengan ungkapan kemarahan yang lebih kencang lagi, sebagai bentuk hirarki struktural bercampur aduk dengan  melepaskan ke dongkolan atau kegeraman atas kemarahan Presiden. Itu namanya kemarahan struktural.
Bagi Menteri dari sektor kesehatan, ekonomi, dan UMKM yang menjadi sasaran tembak utama Presiden, diikuti serpihan pecahan peluru ke sektor-sektor lainnya, tidak sampai disitu saja. Mungkin akan terbawa sampai ke rumah.
Pulang kerumah , sang  istri, anak, ponakan, menantu, mertua atau orang tua  akan ikut merasakan suasana batin sang Menteri. Tidak bisa dihindari situasi kantor memberikan pengaruh terhadap kehidupan keluarga. Tidak banyak penyelenggara pemerintahan yang mampu meninggalkannya di kantor.
Tapi mungkin saja ada Menteri yang tenang, santai, relaks, pasrah, karena merasa sudah bekerja maksimal. Kalau terkena reshuffle kabinet ya itu namanya sudah perjalanan nasib kehidupan. "Ah emangnya gue pikirin". Menteri seperti itupun tidak banyak.
Kita jujur mengakui, kemarahan Presiden Jokowi kali ini, diluar dugaan banyak pihak. Apalagi  10 hari sesudah kemarahan itu "dinikmati" para Menteri, videonya baru dikeluarkan Istana.
Bisa jadi, maaf hanya menduga duga saja, selama 10 hari sesudah musibah Sidang Kabinet 18 Juni 2020, tidak ada tanda-tanda perubahan sebagai implikasi dari kemarahan Presiden itu.
Setiap hari Jubir pemerintah tentang perkembangan wabah Covit-19, dengan wajah sedih, datar, lelah, prihatin, menyampaikan penambahan pasien terinfeksi rata-rata 1000 orang setiap harinya, dan sekitar 50 orang diantaranya meninggal dunia.
Dari tren tersebut, secara nyata data  membuktikan bahwa angka orang terinfeksi terus menuju pergerakan keatas, belum ada tanda-tanda data yang datar baik yang terinfeksi maupun meninggal dunia.
Dari sisi ekonomi, dan UMKM masih belum juga ada tanda-tanda geliat ekonomi di sektor kecil, dan menengah, walaupun sudah dilakukan relaksasi PSBB.
Kepala Negara tentu mencermati angka-angka realisasi APBN 2020 untuk re-focussing yang masih sangat rendah, bahkan sektor kesehatan untuk penanganan covid hanya 1,5% dari sekitar Rp.75 triliun yang dianggarkan.