Sumber data itu diintegrasikan, divalidasi, verifikasi, dan kemudian menjadi data tunggal untuk mereka yang mendapatkan bantuan, sambil dibuka peluang untuk koreksi jika ada data yang perlu diperbaiki sesuai masukan masyarakat.
Ada 6 lembaga yang harus melakukan koordinasi dan konsolidasi yaitu Kemensos, Kemendagri, Kemenaker, Meneg BUMN, BPS, dan Kepala Daerah. Saya yakin ini sudah dilakukan, tinggal mungkin reformulasi kebijakan implementasinya saja.
Tahap kedua adalah model bantuan itu, dibagi atas 3 kelompok besar saja, yaitu:
- Cash transfer
- In-kind transfer
- Keringanan Jasa kebutuhan utama (listrik dan energi).
Cash transfer atau bantuan tunai secara transfer dilakukan dengan menggabungkan (blended) semua skema program yang sifatnya pemberian uang (seperti PKH, BLT, Kartu Pra kerja), sehingga dengan dana yang besar dan cakupan yang besar pula, menghindari tumpang tindih bantuan, dan mencegah terjadinya diskriminasi penyaluran dilapangan.Â
Petugas juga dilapangan tidak sulit dalam menyalurkan bantuannya dan mekanisme kontrolnya juga dapat lebih mudah.
In-kind transfer, kita sudah punya pengalaman menyalurkan Raskin. Dengan berbagai kelemahannya diperbaiki, dan keunggulannya diambil, dengan memberikan kembali tanggung jawab penuh kepada Bulog.
Tidak perlu ada lagi vendor-vendor lain yang terlibat karena menimbulkan high cost. Bulog yang dipimpin oleh Komjen Pol (Pur) Budi Waseso, cukup disegani, dan dapat menyediakan kebutuhan beras, gula, minyak goreng, tidak usah dengan telur gampang rusah, dan tidak tahan lama.
Sayuran dan keperluan kecil lainnya, biarlah mereka beli di warung terdekat dari uang yang diberikan pemerintah. Program ini jumlah uangnya sangat besar Rp43,6 triliun, melampaui program Kartu Pra Kerja 20 triliun, dan PKH 37,4 triliun.
Keringanan jasa kebutuhan utama (listrik dan energi), untuk listrik sudah bagus skemanya, sasarannya juga dicocokkan dengan penerima bantuan sosial lainnya. Untuk energi, keringanan beli BBM bagi GoJek, hanya untuk 10 ribu driver per hari dan mendapatkan potongan 50%.
Kebijakan ini sangat diskriminatif, terkesan hanya pencitraan, apalagi yang mengumumkan Komut Pertamina (bukan ranah job-nya). Kenapa hanya driver ojek online, lalu bagaimana dengan ojek pangkalan? Dan hanya 10 ribu driver dari jutaan driver ojol, apa tidak menimbulkan perebutan di antara mereka?
Program Pertamina ini tidak jelas ke mana arahnya. Oleh karena itu Menteri BUMN perlu melakukan klarifikasi untuk tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat.