Jadi jelas ya, untuk berhenti sebagai peserta silahkan. Caranya lapor ke kantor BPJS Kesehatan setempat, bahwa mulai bulan depan saya tidak membayar iuran lagi, dan statusnya non aktif. Saya sudah siap dan tidak akan ribut-ribut jika sakit tidak bisa menggunakan kartu JKN ( ingat kartu JKN tidak perlu dikembalikan). Saya siap membayar sendiri sebagai pasien umum, atau menggunakan asuransi komersial.
Tetapi, jika anda berubah pikiran  6 bulan kemudian, ingin diaktifkan lagi kepesertaannya, silahkan bayar  tunggakan iurannya, baru kartu JKN menjadi aktif dan dapat digunakan untuk mendapat pelayanan di faskes.
Bagaimana jika ingin mendapatkan iuran  dengan kelas perawatan di kelas 3, yang selama ini di kelas 1, silahkan. BPJS Kesehatan akan senang hati merubah status kepesertaan anda diturunkan. Iuran yang semula Rp.160 ribu /POPB, menjadi sebesar Rp.42 ribu/POPB.  BPJS Kesehatan memberikan kesempatan kemudahan untuk turun kelas tersebut sampai dengan akhir April 2020.
Kesempatan hanya diberikan sampai akhir April 2020 untuk turun kelas, perlu  ditinjau kembali. Jangan terlalu kaku, jika ternyata gelombang tren  turun  kelas jumlahnya cukup banyak karena situasi ekonomi yang tidak mendukung, sebaiknya pihak BPJS Kesehatan dapat meninjaunya kembali.
Jadi tidak tepat jika kepesertaan BPJS Kesehatan itu diibaratkan dengan "jebakan batman". Sebab kewajiban dan keharusan sebagai peserta bagi seluruh penduduk adalah untuk memberikan perlindungan sosial berupa jaminan kesehatan paripurna, dengan mendapatkan pelayanan kesehatan dasar, yang komprehensif. Bagi yang mampu, iurannya dibayar  secara mandiri baik sebagai PPU, PBPU, BP, dan yang fakir miskin serta tidak mampu dibayarkan oleh Pemerintah. Saat ini sebanyak 133 juta penduduk yang masuk kategori fakir miskin dan tidak mampu dibayarakan dari APBN dan APBD setempat.
Jelas Guys, Negara sudah membuat batasan yang jelas. Jika mampu bayarlah dengan rejeki sendiri karena iurannya masih terjangkau. Jika  fakir miskin dan tidak mampu lapor diri ke kepala desa/kelurahan untuk didaftarkan sebagai penerima PBI (APBN/APBD).
Tidak boleh ada wilayan abu-abu.  Tidak ada istilah orang miskin membiayai yang kaya, atau sebaliknya. Mereka semua mendapatkan pelayanan medis yang sama standar pelayanannya. Perbedaan kelas perawatan hanya untuk yang sifatnya akomodasi. Misalnya untuk kelas 1, satu kamar inap dihuni  2 orang, kelas 2  dihuni 4 orang, dan kelas 3 untuk 6 orang.
Kita berharap, dan tentunya Guys sekalian, dengan kenaikan iuran yang besar tersebut, dapat menyelesaikan persoalan tunggakan pembayaran klaim RS (FKTL), yang semula tunggakan sampai 6 bulan dapat diperpendek hanya 1,atau 2 bulan saja.
Dengan demikian RS juga dapat membayar hutang-hutang nya pada pihak lainnya, seperti obat dan alat kesehatan serta laboratorium kepada distributor industri farmasi (PBF), yang katanya sudah mencapai Rp. 6 triliun.
Kemudian dapat diperbaiki juga struktur paket Ina CBGs oleh Kementerian Kesehatan dengan mengikut sertakan BPJS Kesehatan, termasuk penetapan obat yang masuk Fornas agar benar-benar sesuai dengan kebutuhan pelayanan.
Mari kita lihat dan kita dukung upaya perbaikan-perbaikan pelayanan JKN kedepan ini, dengan _positif thinking_. Peserta JKN laporkan kepada lembaga pemantau DJSN, BPJS Watch, Dewas BPJS Kesehatan, BPK, BPKP, jika dalam mendapatkan manfaat pelayanan sesuai dengan haknya, mendapat perlakuan dan pelayanan yang tidak sesuai, misalnya disuruh menebus obat, membayar biaya laboratorium, pelayanan administrasi yang bertele-tele, dan pelayanan lainnya yang dirasakan tidak fair dan tidak sesuai dengan standar pelayanan yang sering dicantumkan pada brosur, maupun banner-banner yang terpampang di RS.