Mohon tunggu...
Chazali H Situmorang
Chazali H Situmorang Mohon Tunggu... Apoteker - Mantan Ketua DJSN 2011-2015.

Mantan Ketua DJSN 2011-2015. Dosen Kebijakan Publik FISIP UNAS; Direktur Social Security Development Institute, Ketua Dewan Pakar Lembaga Anti Fraud Asuransi Indonesia (LAFAI).

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perlunya Kesabaran Seorang Menteri

8 Desember 2019   13:20 Diperbarui: 11 Desember 2019   09:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika sudah diketemukan simpul penghambat dan Kepala BPOM tidak dapat menyelesaikan sesuai dengan SOP dan batas waktu yang disepakati, Kepala Badan POM yang diganti, cari mereka yang profesional, apoteker yang sudah punya jam terbang tinggi, berintegritas, dan komitmen yang tinggi terhadap tugas. 

Saya yakin di jajaran BPOM cukup banyak tersedia figur-figur dengan standar dimaksud.

Tidak ada jaminan, jika pelimpahan tugas ditarik dan proses Izin Edar ditugaskan pada Direktorat jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat kesehatan Kemenkes, proses Izin Edar lebih lancar. 

Kalaupun lancar karena dibawah tekanan, dapat mengabaikan kehati-hatian dan berlangsungnya proses tanpa SOP yang akurat.

Disamping itu tugas-tugas Ditjen Yanfar dan Alkes, sudah sangat banyak dan juga terkesan overload. Misalnya soal penyusunan Fornas untuk kebutuhan obat, alkes, dan bahan medis pakai lainnya, masih menimbulkan persoalan yang menyulitkan persediaan obat Fornas di faskes.

Ada daftar Fornas yang keluar masuk, sehingga apotek yang menyediakan obat JKN menjadi kebingungan. Obat sudah dikeluarkan, ditagih ke BPJS Kesehatan, ternyata sudah dikeluarkan dari Fornas dan tidak dapat di klaim karena berlaku mundur. 

Teman-teman sejawat Apoteker pengelola apotek banyak mengeluhkan hal tersebut pada saya.

Demikian juga soal harga obat mahal dikaitkan dengan Izin Edar, apakah sudah ada dilakukan evaluasi dengan GP Farmasi. Benarkah obat yang beredar di Indonesia mahal?

Industri dan distributor farmasi saat ini menjual obat dengan harga murah dengan ikut e-procurement LKPP yang mengedepankan harga obat yang paling murah, baik obat generik, generik berlogo, dan obat paten. Sudah harga obatnya murah, pembayaran oleh faskes juga tersendat-sendat 3 s/d 6 bulan. 

Jika industri farmasi kelas teri sudah tidak mampu berproduksi. Akibatnya industri-industri besar yang masih bertahan. Apakah ini sehat?

Di apotek, untuk obat-obat katastropik, khususnya generik sangatlah murah. Contoh obat cholesterol: simvastatin 10 mg, Rp. 7.000/strip, yang 20 mg, Rp. 14.000/strip. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun