Mohon tunggu...
Chaycya Oktiberto Simanjuntak
Chaycya Oktiberto Simanjuntak Mohon Tunggu... Jurnalis - Suka menulis dan traveling

a writer and traveler.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Afi Nihaya Idap Delusional Grandeur?

11 Juli 2017   03:28 Diperbarui: 11 Juli 2017   23:32 10045
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BEBERAPA hari ini media sosial khususnya di Indonesia diributkan dengan kasus plagiarisme yang diduga dilakukan oleh seorang siswi bernama Afi Nihaya Faradisa atau Afi.

Afi, namanya menjadi viral akibat tulisan-tulisannya yang out of the box, melebihi cara berpikir kawan sepantaran usianya.

Dari yang saya ikuti dari beberapa postingannya, cara berpikirnya sangat hebat sekali. "Wah pasti ini anak banyak membaca buku-buku filsafat neh, dan uptodate mengenai perkembangan-perkembangan isu-isu dunia, khususnya isu SARA dan intolerensi yang menghinggapi nektar dalam kancah dunia perpolitikan di negeri ini beberapa waktu lalu.

Afi, hadir membawa kesegaran lewat tulisan-tulisannya. Kala itu, dia ibarat oase di padang gurun, yang memberikan kelegaan bahwa masih ada calon pemikir muda di negeri ini, di saat pemikir tua mengkotak-kotakkan cara pandangnya dan di saat rekan sepermainan Afi lebih memilih hedon dan alay dengan gaya mereka sendiri. Tapi Afi tidak. Dia justru menuangkan buah pikirannya lewat tulisan digital.

Anak ini hebat. Pikirku. Kala itu.

Saya pun menekan tombol 'LIKE' pada akun Facebook miliknya.

Hingga satu dari tulisannya WARISAN viral.

Ibarat pohon, makin tinggi makin kencang angin yang berhembus. Kehadiran Afi lewat tulisannya memicu pro dan kontra.

"Calon pemikir hebat" kata pro (saya termasuk bagiannya. Kala itu)

"Ah anak ingusan yang gagal alay bisa-bisanya buat tulisan seperti itu. Pasti juga njiplak" kata kontra.

Pro-Kontra makin menjadi. Afi makin DIKENAL. Bahkan tokoh pimpinan tertinggi  Negeri ini, Mr President Joko Widodo mengundangnya ke Istana Negara.

Nama Afi menjadi sering muncul di berbagai channel berita di televisi.

Pro-Kontra makin menjadi. Afi 'dikuliti' oleh warganet. Habis-habisan.

Hingga akhirnya satu KESALAHAN terkuak. Satu dari tulisannya yang ia buat kredit Afi merupakan saduran dari tulisan terdahulu orang lain. Afi menggubah beberapa kalimatnya biar seolah itu hasil pemikirannya.

Dia pun mulai dihujat. Mungkin sebagian yang pro dengannya bahkan ada yang banting setir menjadi tim kontra.

Saya sebagai pembaca tulisannya yang sarat makna pesan moral untuk saling menghargai perbedaan, melihat dari sisi lain: Afi tujuannya menyadur tulisan orang lain itu baik untuk menyebarkan pesan moral. Tapi ada satu yang dia abaikan: dia menghilangkan jejak penulis aslinya dengan mengkreditkan itu tulisan menjadi karyanya. Jelas plagiat namanya.

Saat dia meminta maaf, saya salut. Dia dengan berani menunjukkan mukanya dengan menyatakan diri bersalah dan ke depan akan memperbaiki diri. Saya sempat meninggalkan komentar di kolom tulisannya itu :" keep honest. Selalulah jujur dalam menulis. Hargai karya orang lain dengan begitu karyamu dihargai. Jujurlah akan buah pemikiranmu sendiri dengan begitu kelak kamu akan menjadi penulis dan pemikir yang hebat. Sampai saat ini saya masih pengagum tulisan2mu. Tetaplah menulis tapi dari hati dan pikiran. Kalau ada kutipan dari orang lain, jangan lupa tuliskan juga sumbernya". Itulah kira-kira yang saya tuliskan di kolom komentar itu.

Afi kadung terkenal. Dia menikmatinya. Dianggap dan dipandang oleh orang-orang besar, jadi bahan pembicaraan seantaro negara, ia menjadi merasa hebat, agung, grandeur. Namanya di dunia sosial media besar.

Setelah minta maaf, tak jera ia kembali berulah. Plagiarisme. Lagi-lagi plagiat.

Kali ini fatal. Afi lewat video live menyatakan pendapatnya betapa sakitnya menjadi korban bullying. Mungkin masih berhubungan dengan hujatan-hujatan yang ia terima dari kejadian sebelumnya. Ramai di media sosial, seperti Instagram, saya langsung membuka link video asli bukan Afi. Apa yang diucapkan Afi persis diucapkan seorang perempuan bule yang masih beli tersebut. Hanya ada pengubahan beberapa kalimat yang Afi hilangkan. Tiga kali saya bolak-balik menonton dua video yang berbeda, Afi dan si bule itu.

Deimn!!! Afi bukan diduga tapi jelas-jelas menjiplak. Itu kesimpulan saya. Teknik penyampaian, pelafalan artikulasi kata, bahkan dominan kata-kata menjadi kalimat di video live Afi itu, ia tiru habis-habisan. Ada beberapa kata yang sempat ia lupa, lalu melirik teks ke depan. Afi menjiplak. Jelas!!!

Di sini, saya menuliskan ini bukan ikut-ikutan menghujat Afi akibat kesalahannya. Namun, dari sisi yang berbeda, bisa saja Afi sang remaja calon pemikir itu kini terbelenggu atau mengidap Delusional Grandeur. Salah satu gangguan delusi ia ingin tetap dianggap hebat, akibat ketenaran sesaat yang ia terima. Dia mencoba membuat ketenaran itu lama, membuat orang-orang supaya menganggapnya menjadi Afi yang hebat, dan mau tak mau untuk mempertahankannya, ia membuat langkah salah kaprah: menjiplak, plagiat, tukang tiru, plagiarism.

Afi telah menjerumuskan dirinya sendiri. Karya-karya tulisan hasil pemikirannya kini tak dianggap akibat dua (yang terlihat) kesalahan yang ia buat sendiri.

Bisa jadi, tujuannya Afi baik menyebarkan pesan moral. Ibarat membuat kue, bumbu yang Afi buat telah salah dasar. Ia mengadonnya seolah nyata dari dirinya, lalu jadi roti. Roti? Iya benar roti, tapi kini roti itu tak bisa lagi dinikmati layaknya rasanya roti. Afi pun begitu. Karena nila setitik rusak susu sebelanga. Afi telah membuat sanksi sosial ke dirinya sendiri.

Buah pemikirannya yang dulu kuanggap bahkan orang lain anggap dahsyat pada akhirnya tak dianggap dan dipandang lagi akibat kesalahan fatal yang ia perbuat sendiri.

Sanksi sosial,  tak melewati sidang dan penjara fisik tapi berdampak selamanya, Di ingatan.

Pesan moral: Be wise.  Hargai karya orang lain guys. Kalau terinspirasi tulis terinspirasi. Kalau saduran tulis disadur dari.. dengan begitu kamu turut menghargai karya orang lain.

Jangan demi eksistensi disebut pemikir, jumawa akibat dipuja, dan berujung pada "JATUH AKIBAT KESALAHAN SENDIRI".

Just in my humble opininon. Salam kompasiana!!! (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun