Saya adalah satu dari sekian orang yang takut ketemu dokter. Takut disuntik. Masih teringat di benak saya dua kejadian menggelikan yang saya alami dulu terkait suntik menyuntik. Pada suatu ketika...ah kayak mau mendongeng. Ganti lagi. Pada suatu hari..sama aja kalii... Pokoknya pada suatu kesempatan deh, Ibu membawa saya ke puskesmas. Sepertinya pas waktu itu saya lagi sakit flu. Berhari-hari nggak sembuh. Atas desakan ayah, Ibu membawa saya berobat ke puskesmas. Waktu itu, Ibu bilang "Nggak disuntik kok! Beneran! Paling cuma diperiksa saja." Saya percaya kata-kata Ibu.
Yang di puskesmas namanya pak mantri. Bukan pak dokter. Nah, pak mantri ini baik sekali orangnya. Dia mengajak saya ngobrol kesana-kemari. Saya tetap berpositif-thinking kalau pak mantri ini nggak bakalan nyuntik saya. Tapi eh tapi, kok pak mantrinya tiba-tiba nyuruh ibu buat membalikkan badan saya? Dan dia juga mengeluarkan jarum suntik? Wah tidak dibenarkan ini! Dalam hati berkata, saya harus melakukan sesuatu. Sebelum pak mantri 'menyerang', dengan secepat kilat saya lepas dari pangkuan ibu. Tu-wa-ga! Kabuuuurr!!!
Saya lari sekencang-kencangnya. Sambil nangis tentunya. Dari kejauhan, saya melihat ibu dan pak mantri mengejar saya. Pak mantri, sambil lari terbirit-birit berteriak meminta saya berhenti. 'Nggak disuntik! Pak mantri nggak jadi nyuntik. Beneran! Berhenti ya, nanti kamu jatuh!" Hahahahaha...Akhirnya saya nurut. Dan beneran, pak mantri nepatin janjinya untuk mengurungkan niatnya. menyuntik saya. *girang*
Kejadian yang menggelikan kedua, waktu saya duduk di bangku SD. Sepertinya kelas 1 SD. Ada kan tuh kegiatan vaksinasi untuk siswa SD. Dan kumatlah fobia saya akan jarum suntik. Selama berbaris mengantri giliran disuntik, otak saya bekerja keras. 'Bagaimana caranya saya bisa lepas dari jarum suntik itu?' Panik, takut, membuat badan saya berkeringat. Jadi panas dingin rasanya. Kemudian tanpa sengaja saya terbatuk. Keras sekali. Guru saya yang mengatur barisan datang menghampiri. "Kamu sakit?" Tanyanya. Saya tak menjawab. Kemudian dia meraba dahi saya. "Kamu demam. Sebaiknya, kamu tidak usah disuntik hari ini. Lain kali saja. Yuk, Ibu antar kamu ke ruang UKS." Alhamdulillah...saya selamat!
Nah, itu cerita kecil saya yang selalu ngeri kalau harus berurusan dengan dokter dan jarum suntik. Dan satu lagi 'orang' yang saya hindari di muka bumi ini. Dia adalah dokter gigi! Dari dulu cerita sakitnya gigi waktu dicabut selalu menghantui fikiran saya. Duhh amit-amit jabang beibeh, jangan sampai saya harus mengalami itu. Ibu dan kakak-kakak saya semua pernah mengalaminya. Cara mereka bercerita soalah-olah adegan cabut gigi adalah cerita yang paling horor dari yang pernah ada.
Untunglah saya tidak pernah bermasalah memiliki gigi berlubang sampai menimbulkan nyeri dan ngilu. Paling tidak sampai usia saya menginjak 20-an. Sampai segitu saja tuh. Dan itu ketika saya masih tinggal di tanah air. Berbeda ketika saya mulai bekerja di Hong Kong. Gigi saya mulai bertingkah. Mungkin karena perbedaan musim, pola makan sampai jenis makanan yang saya konsumsi berbeda 180 derajat dari kebiasaan saya selama di Indonesia. Memasuki tahun ke -4 saya di Hong Kong, pada saat-saat tertentu saya merasa gusi saya ngilu. Rasa ngilu merambat ke telinga. Membuat telinga saya berdenging keras. Dan sakitnya menjalar ke seluruh bagian kepala. Pokoknya sakit sekali. Kalau sudah begitu saya harus memegangi kepala saya selama bermenit-menit. Lalu menhujamkannya ke atas bantal. Melihat penderitaan saya, majikanpun tak tega. Akhirnya setelah dirayu selama berhari-hari saya mau juga di ajak ke dokter gigi. Ow tidaakkk! Kali ini saya nggak mungkin bisa kabur. :(
Peristiwa bersejarah ini terjadi kira-kira satu tahun yang lalu. Oleh majikan, dibawalah saya ke sebuah klinik di komplek hunian Tierra Verde Tsing yi. Tentang bagaimana prosedur cabut giginya, akan saya coba ceritakan semuanya di sini.
Sampai di klinik, saya langsung melakukan registrasi dengan mengisi lembaran formulir. Tak tanggung-tanggung formulirnya ada 3 lembar. Banyak sekali yang ditanyakan. Apakah saya seorang perokok, pernahkan saya mengkosumsi alkohol dan sebagainya. Saya juga sampai bingung. Kok Kayak mau tes masuk kerja? Setelah semua informasi yang diperlukan saya isikan, saya diminta untuk kembali di ruang tunggu. Beberapa menit kemudian, nama saya dipanggil melalui pengeras suara. Dan apa yang terjadi? Aha, perawatnya bilang, jadwal hari ini sudah penuh. Saya harus booking untuk besok atau lusa. Hiyahhh keburu pingsan menahan sakit sayanya, Sus!
Tapi apa boleh buat, akhirnya saya musti menuruti saja. Sempat terbersit untuk pindah ke dokter lain, tapi majikan saya melarang. Dia bilang, klinik ini yang terbaik di komplek tempat tinggal kita. Akhirnya saya booking untuk keesokan harinya. Walhasil saya tidak bisa tidur semalaman.
Pagi sekitar pukul 9, saya sudah stand by di klinik. Tak lama menunggu, akhirnya dokter menyuruh saya masuk ke ruangan periksa. Di dalam ruangan saya disambut seorang dokter pria dan 4 perawat wanita. Saya nggak bisa menebak apakah pak dokternya ganteng? Apakah mbak susternya cantik? Mereka semua pakai masker! :D
Salah seorang perawat menghampiri saya dan mempersilakan saya duduk di kursi periksa. Saya disodori kertas berisi pertanyaan yang lazim ditanyakan ketika anamnesis (seperti keluhan utama, sejak kapan keluhan itu timbul, gusi bagian mana yang sakit, dst.) Juga pertanyaan seputar riwayat gigi saya. Berapa kali saya menggosok gigi dalam sehari, berapa menit lamanya, sikat gigi seperti apa yang saya gunakan. Setelah mendapatkan semua jawaban, dokter gigi memberikan instruksi kepada saya untuk berkumur dan menggosok gigi. Semua yang disitu, memperhatikan cara saya menggosok gigi. Berasa menjadi pusat perhatian, mendadak penyakit grogi saya kambuh.