Mohon tunggu...
Aulia
Aulia Mohon Tunggu... Lainnya - Pendamping Belajar

Seorang pekerja migran yang beralih profesi menjadi pendamping belajar

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Cabut Gigi, Siapa Takut?

27 September 2012   11:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:36 4146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Saya adalah satu dari sekian orang yang takut ketemu dokter. Takut disuntik. Masih teringat di benak saya dua kejadian menggelikan yang saya alami dulu terkait suntik menyuntik. Pada suatu ketika...ah kayak mau mendongeng. Ganti lagi. Pada suatu hari..sama aja kalii... Pokoknya pada suatu kesempatan deh, Ibu membawa saya ke puskesmas. Sepertinya pas waktu itu saya lagi sakit flu. Berhari-hari nggak sembuh. Atas desakan ayah, Ibu membawa saya berobat ke puskesmas. Waktu itu, Ibu bilang "Nggak disuntik kok! Beneran! Paling cuma diperiksa saja." Saya percaya kata-kata Ibu.

Yang di puskesmas namanya pak mantri. Bukan pak dokter. Nah, pak mantri ini baik sekali orangnya. Dia mengajak saya ngobrol kesana-kemari. Saya tetap berpositif-thinking kalau pak mantri ini nggak bakalan nyuntik saya. Tapi eh tapi, kok pak mantrinya tiba-tiba nyuruh ibu buat membalikkan badan saya? Dan dia juga mengeluarkan jarum suntik? Wah tidak dibenarkan ini! Dalam hati berkata, saya harus melakukan sesuatu. Sebelum pak mantri 'menyerang', dengan secepat kilat saya lepas dari pangkuan ibu. Tu-wa-ga! Kabuuuurr!!!

Saya lari sekencang-kencangnya. Sambil nangis tentunya. Dari kejauhan, saya melihat ibu dan pak mantri mengejar saya. Pak mantri, sambil lari terbirit-birit berteriak meminta saya berhenti. 'Nggak disuntik! Pak mantri nggak jadi nyuntik. Beneran! Berhenti ya, nanti kamu jatuh!" Hahahahaha...Akhirnya saya nurut. Dan beneran, pak mantri nepatin janjinya untuk mengurungkan niatnya. menyuntik saya. *girang*

Kejadian yang menggelikan kedua, waktu saya duduk di bangku SD. Sepertinya kelas 1 SD. Ada kan tuh kegiatan vaksinasi untuk siswa SD. Dan kumatlah fobia saya akan jarum suntik. Selama berbaris mengantri giliran disuntik, otak saya bekerja keras. 'Bagaimana caranya saya bisa lepas dari jarum suntik itu?' Panik, takut, membuat badan saya berkeringat. Jadi panas dingin rasanya. Kemudian tanpa sengaja saya terbatuk. Keras sekali. Guru saya yang mengatur barisan datang menghampiri. "Kamu sakit?" Tanyanya. Saya tak menjawab. Kemudian dia meraba dahi saya. "Kamu demam. Sebaiknya, kamu tidak usah disuntik hari ini. Lain kali saja. Yuk, Ibu antar kamu ke ruang UKS." Alhamdulillah...saya selamat!

Nah, itu cerita kecil saya yang selalu ngeri kalau harus berurusan dengan dokter dan jarum suntik. Dan satu lagi 'orang' yang saya hindari di muka bumi ini. Dia adalah dokter gigi! Dari dulu cerita sakitnya gigi waktu dicabut selalu menghantui fikiran saya. Duhh amit-amit jabang beibeh, jangan sampai saya harus mengalami itu. Ibu dan kakak-kakak saya semua pernah mengalaminya. Cara mereka bercerita soalah-olah adegan cabut gigi adalah cerita yang paling horor dari yang pernah ada.

Untunglah saya tidak pernah bermasalah memiliki gigi berlubang sampai menimbulkan nyeri dan ngilu. Paling tidak sampai usia saya menginjak 20-an. Sampai segitu saja tuh. Dan itu ketika saya masih tinggal di tanah air. Berbeda ketika saya mulai bekerja di Hong Kong. Gigi saya mulai bertingkah. Mungkin karena perbedaan musim, pola makan sampai jenis makanan yang saya konsumsi berbeda 180 derajat dari kebiasaan saya selama di Indonesia. Memasuki tahun ke -4 saya di Hong Kong, pada saat-saat tertentu saya merasa gusi saya ngilu. Rasa ngilu merambat ke telinga. Membuat telinga saya berdenging keras. Dan sakitnya menjalar ke seluruh bagian kepala. Pokoknya sakit sekali. Kalau sudah begitu saya harus memegangi kepala saya selama bermenit-menit. Lalu menhujamkannya ke atas bantal. Melihat penderitaan saya, majikanpun tak tega. Akhirnya setelah dirayu selama berhari-hari saya mau juga di ajak ke dokter gigi. Ow tidaakkk! Kali ini saya nggak mungkin bisa kabur. :(

Peristiwa bersejarah ini terjadi kira-kira satu tahun yang lalu. Oleh majikan, dibawalah saya ke sebuah klinik di komplek hunian Tierra Verde Tsing yi. Tentang bagaimana prosedur cabut giginya, akan saya coba ceritakan semuanya di sini.

Sampai di klinik, saya langsung melakukan registrasi dengan mengisi lembaran formulir. Tak tanggung-tanggung formulirnya ada 3 lembar. Banyak sekali yang ditanyakan. Apakah saya seorang perokok, pernahkan saya mengkosumsi alkohol dan sebagainya. Saya juga sampai bingung. Kok Kayak mau tes masuk kerja? Setelah semua informasi yang diperlukan saya isikan, saya diminta untuk kembali di ruang tunggu. Beberapa menit kemudian, nama saya dipanggil melalui pengeras suara. Dan apa yang terjadi? Aha, perawatnya bilang, jadwal hari ini sudah penuh. Saya harus booking untuk besok atau lusa. Hiyahhh keburu pingsan menahan sakit sayanya, Sus!

Tapi apa boleh buat, akhirnya saya musti menuruti saja. Sempat terbersit untuk pindah ke dokter lain, tapi majikan saya melarang. Dia bilang, klinik ini yang terbaik di komplek tempat tinggal kita. Akhirnya saya booking untuk keesokan harinya. Walhasil saya tidak bisa tidur semalaman.

Pagi sekitar pukul 9, saya sudah stand by di klinik. Tak lama menunggu, akhirnya dokter menyuruh saya masuk ke ruangan periksa. Di dalam ruangan saya disambut seorang dokter pria dan 4 perawat wanita. Saya nggak bisa menebak apakah pak dokternya ganteng? Apakah mbak susternya cantik? Mereka semua pakai masker! :D

Salah seorang perawat menghampiri saya dan mempersilakan saya duduk di kursi periksa. Saya disodori kertas berisi pertanyaan yang lazim ditanyakan ketika anamnesis (seperti keluhan utama, sejak kapan keluhan itu timbul, gusi bagian mana yang sakit, dst.) Juga pertanyaan seputar riwayat gigi saya. Berapa kali saya menggosok gigi dalam sehari, berapa menit lamanya, sikat gigi seperti apa yang saya gunakan. Setelah mendapatkan semua jawaban, dokter gigi memberikan instruksi kepada saya untuk berkumur dan menggosok gigi. Semua yang disitu, memperhatikan cara saya menggosok gigi. Berasa menjadi pusat perhatian, mendadak penyakit grogi saya kambuh.

Selesai menyikat gigi, saya kira dokter akan langsung memeriksa gigi saya. Ternyata tidak. Seorang suster meminta saya duduk di kursi periksa, tubuh saya ditutupi dengan selimut, kursinya ditinggikan sedikit. Setelah itu dia menyerahkan satu cangkir kecil berisi air dan sebuah mangkuk. Dimintanya saya berkumur di situ. Saya masih tidak tahu gerangan apa yang akan dilakukan suster itu. Tiba-tiba dia meminta saya untuk membuka mulut. Eh, dia menyikat gigi saya. Cuma sebentar. Sesudahnya dia bertanya. " Ada bedanya nggak cara saya menyikat gigi kamu dengan cara kamu?" Saya bilang ada. Cara dia menyikat gigi saya lebih pelan dan lembut. Tidak ada tekanan sama sekali.

Di situ dia menjelaskan pentingnya menyikat gigi dengan benar. Jangan memberikan tekanan terlalu kuat pada gigi. Dikatakannya lagi, cara yang tepat menyikat gigi adalah sehalus mungkin. cukup menempelkan sikat pada gigi, lalu tarik pelan-pelan. Tak perlu sampai menimbulkan suara gesekan. Menekan gigi terlalu kuat ketika menggosok gigi lama kelamaan akan menyebabkan lapisan terluar gigi terkikis, sehingga menyebabkan kerusakan.

Selesai acara sikat-menyikat, tibalah saya diacara inti. Ceilee..kayak acara resepsian penganten saja. :D Seorang perawat lainnya datang menghampiri saya, dia meminta ijin untuk mem-foto rontgen gigi saya. Saya diminta berbaring. Seperti mau dioperasi, lampu besar diatas saya dinyalakan. Silau bukan main. Pengambilan gambar dengan memasukkan kamera kecil ke dalam mulut saya harus dilakukan berkali-kali. Saya tersedak karena kamera itu dimasukkan jauh di dalam mulut saya. Mungkin juga karena perasaan takut, grogi yang bercampur menjadi satu. Pada pengambilan gambar yang ketiga, dinyatakan sukses. Setelah itu saya dipersilakan membersihkan mulut untuk lalu kembali ke ruang tunggu, menunggu hasil analisis dokter. Lama sekali ya prosesnya. Padahal saya kira tadi itu udah masuk acara inti. Langsung cabut, selesai deh. Ternyata belum. Hahahahaha..

Lama menunggu akhirnya saya diminta masuk lagi ke ruangan. Ditunjukkannya saya pada foto rontgen gigi saya. Ternyata ditemukan sebuah lubang besar menganga di 'wisdom tooth' bagian kiri. Yups, geraham bungsu kiri saya yang berlubang. Dan satu-satunya cara menyelesaikan masalah adalah dengan mencabutnya. Saya disodori sebuah surat pernyataan bersedia dicabut giginya, plus perincian biaya sebesar HK$2.500. Nggak salah nih? Cabut gigi dua jeti lebih? Alamak. Kalau di puskesmas deket rumah paling nggak nyampe dua puluh ribu. Kenapa bisa sebesar itu biayanya? Alasan pak dokternya sih karena mencabut gigi geraham bungsu memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dari gigi-gigi yang lain. Benarkah begitu pak dokter gigi?

Untungnya saya di-cover asuransi di sini, jadi biaya sebesar itu bukan masalah. Selesai menandatangani surat pernyataan, akhirnya tiba juga saat yang sangat tidak saya nanti-nantikan. Perlu diketahui, waktu saya benar-benar dicekam rasa takut. Saya disuruh duduk di kursi periksa tadi yang telah di-set posisi sedikit berbaring, lalu lampu dinyalakan. Satu dokter dan 3 perawat berjibaku dengan geraham bungsu saya waktu itu.

Pertama-tama, mata saya ditutup dengan kain/masker. Dokter mengatakan pada saya bahwa sekarang dia akan menyuntik bius gusi saya. Saya diminta untuk tidak bergerak. Yang terjadi selanjutnya, daerah yang akan dibius ditempeli semacam setiker. Kemudian didiamkan beberapa saat dan lalu dilepas. Di tempat bekas setiker itulah obat bius disuntikkan. Saya bisa merasakan rasa obat bius itu pahit dan getir. Kemudian saya diminta menunggu beberapa menit  sampai obatnya benar-benar bekerja. Saat itulah dokternya bilang kalau saya tidak boleh takut. Santai saja. "Trust me! This won't hurt!" Tetep saya saya takut, Bapaaakkk. Dan perawatnya juga nggak kalah perhatiannya. Dianya dengan telaten mengelap keringat saya yang sedikit demi sedikit mulai mengucur.

Setelah 15 menitan, saya merasa pipi dan bibir saya mati rasa. Dokter pun mulai bekerja. Dia bilang, saat dia mulai mengotak-atik gigi saya, kalau ternyata saya merasa kesakitan, saya harus mengangkat tangan kanan saya ke atas, agar dia tahu bagian itu tak terprotek obat bius. Dia juga meminta saya menelan darah yang keluar dari gusi selama proses pencabutan gigi berlangsung. Doa-doapun saya panjatkan. Berharap semuanya berjalan dengan lancar. Dan, yuhuuu tak lebih dari 3 menit, si gigi berlubang itupun sukses dikeluarkan dari sarangnya. :D Swear saya nggak merasakan apa-apa. Paling bibir saja yang berasa jadi ndower akibat dimasukin segala macam peralatan medis. Hahahhaha.. Alhamdulillah semuanya selesai juga akhirnya.

Yah begitulah cerita heboh saya ketika berhadapan dengan seorang yang dulu pernah menjadi sosok paling menakutkan bagi saya. Dokter gigi! Ternyata oh ternyata tak seseram yang saya bayangkan selama ini. :D

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun