“Ku tandai kau, ku tandai. Aku anaknya Pak Arman Depari”
Masih ingat Sonya Depari? siswi SMA methodist kota Medan yang sempat membuat heboh, setelah perseteruannya dengan seorang Panit Turjawali Sat Lantas Polresta Medan, Ipda Perida Panjaitan. Terekam video yang menjadi viral di dunia maya karena ia mengaku sebagai anak Jendral Arman Depari. Sikapnya yang arogan menjurus kearah nepotisme membuat netizen geram.
Latar Belakang
Perkembangan teknologi telah mengubah berbagai macam aspek kehidupan manusia, seperti komunikasi maupun interaksi. Perubahan yang begitu pesat, menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah diakses dan terbuka. Sebagaimana diulas Richard Hunter (2002) dengan world without secrets bahwa kehadiran media baru (new media/cybermedia) menjadikan informasi sebagai sesuatu yang mudah dicari. Media tradisional seolah-olah mendapat pesaing baru dalam mendistribusikan berita.
Kehadiran internet dan media sosial memberikan keleluasaan bagi setiap orang untuk ikut dalam berkompetisi menyebarkan informasi atau peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Institusi media bisa saja menyembunyikan peristiwa, namun sebaliknya melalui internet khalayak mendapatkan peristiwa melalui khalayak lain.
Potensi kekuatan yang dimiliki Internet ini juga bisa digunakan atau disalahgunakan. Dalam hal ini, kehadiran media sosial juga memiliki dampak dari komunikasi dan Informasi yang disalahgunakan. Efek negatif dari media sosial disebut dengan cyberbullying. Cyberbullying merupakan tindakan bully atau penindasan yang terjadi didunia maya.
Bully bisa dikatakan sebagai konsekuensi sosial yang diterima seseorang karena adanya tindakan yang kurang berkenan didunia nyata. Dalam dunia siber, konsekuensi tersebut diterima selayaknya proses yang terjadi di dunia nyata. Netizen dengan bebas berkomentar memberi nasehat, hinaan, kepada pelaku atau korban bully. Dampak cyberbullying hampir sama dengan bully di dunia nyata. Perbuatan menindas dan dapat berujung pada kematian.
Beberapa waktu lalu sempat membuat heboh di media adalah seorang siswi SMA bernama Sonya Depari. Sonya Depari, gadis SMA asal Medan yang terkenal di media sosial karena sebuah video. Video amatir ini merekam kejadian saat Sonya terlibat cekcok dan menolak ditilang seorang Polwan bernama Ipda Perida Panjaitan. Video menjadi viral di dunia maya karena ia mengaku anak seorang jendral Irjen Arman Depari dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Berita ini mendapat banyak tanggapan dari netizen. Ayahandanya sangat kaget mendengar berita tentang anaknya hingga akhirnya meninggal.
Apakah ada pelajaran yang bisa kita tarik dari kasus Cyberbullying Sonya Depari?
Fenomena tersebut yang mendasari tulisan ini dengan tujuan memberi wawasan dan mengambil pelajaran yang bisa dipetik dari adanya cyberbully agar tidak menjadi keresahan dimasyarakat.
Pembahasan
Dalam video yang berdurasi 1 menit 16 detik ini, ada beberapa hal yang dapat diidentifikasi diantaranya Sonya dan teman-temannya menggunakan mobil Brio dengan plat nomer BK 1528 IG masih menggunakan seragam SMA dengan coretan-coretan cat semprot. Ada dialog perseteruan Sonya dengan polwan, dengan sikap arogan Sonya mengatakan “Gini ya Buk, Aku nggak main-main buk, ku tandai kau, Ku Tandai, aku anaknya Arman Depari”
Lalu seseorang laki-laki menyaksikan kejadian ikut mengomentari “Siapa? Anak Pak Arman Depari ya? Itu orang BNN lho, jangan bawa-bawa nama itu, anak pak arman kaya gini ya? Bisa di tes Urin Juga nih buk, Kalian satu mobil nggak melanggar peraturan? kaya gini ya anak polisi ya?”
Dengan sikap arogan, Sonya merasa kebal oleh hukum, yang mengarah ke nepotisme. Menanggapi hal ini, hukum formal di Indonesia terkadang seperti 'paku' tumpul diatas dan tajam dibawah, seperti contoh beberapa waktu lalu ada kasus seorang nenek lanjut usia yang tak sengaja mencuri kayu, dijerat hukum hingga masuk jeruji besi. Sebaliknya Sonya merasa bahwa apa yang dia lakukan akan membebaskan dia dari hukum karena mengaku sebagai anak jendral Arman Depari.
Media sosial memberi ruang bagi setiap individu untuk ikut dalam berkompetisi menyebarkan informasi atau peristiwa yang terjadi di sekitar mereka. Karakteristik media sosial pun bisa dipergunakan untuk bidang seperti jurnalisme. Berkaitan dengan ini, kasus Sonya juga menjadi viral karena sebuah video amatir yang di unggah oleh seseorang di media sosial. Pemilik akun bisa jadi, dengan sadar mengunggah video tersebut dengan tujuan menjadi bentuk introspeksi diri di kehidupan nyata.
Dengan diunggahnya video ternyata menuai banyak opini publik. Netizen dengan bebas menyuarakan pikiran dan opininya mengenai kasus Sonya sebagai bentuk konsekuensi sosial. Konsekuensi sosial yang diterima Sonya, terjadi karena ia memang melakukan tindakan yang kurang berkenan, yang menjurus ke arah nepotisme dan perilaku sudah diluar batas norma. Bully yang terjadi pada Sonya bisa dikatakan sebagai bentuk ekspresi dari ketidak puasan masyarakat dengan hukum formal yang ada di Indonesia yang tidak mampu menjamah orang-orang tertentu.
Apabila Internet tidak ada, bisa jadi kasus Sonya akan berhenti sampai disitu. Di era cyber pun, tidak mengenal jarak sehingga siapapun bebas memberi opini sekalipun kasus Sonya terjadi di Medan, netizen bisa menanggapinya dimanapun mereka tinggal. Pun bebas bersuara sekarang memang berbeda saat dibawah rezim Orde Baru, masyarakat yang dihantui dengan penguasa. Saat ini, media sosial memberikan semacam kekuatan kepada pengguna untuk menyampaikan opini mereka.
Disisi lain, kasus Sonya juga memberi wawasan tentang fenomena budaya cyber.
Kesimpulan
Teknologi sebagai penanda jaman, sedikit banyak membawa pada berubah, sikap, tindakan. Kasus Sonya menyadarkan kita bahwa sikap generasi muda mulai meninggalkan budi pekerti yang berdampak penindasan seperti cyberbully.
Meski cyberbully merupakan tindakan yang negatif, namun ada hal-hal yang dapat dipetik dari adanya cyberbully yakni Cyberbully dari kasus Sonya menciptakan opini publik, introspeksi diri, memberi efek jera, dan menumbuhkan kreatifitas vernakular seperti meme yang dapat menetralkan kasus yang pelik. Semoga tulisan ini dapat memberikan wawasan baru mengenai Fenomena cyberbully memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena media sosial.
Daftar Pustaka
Ibrahim, Idi Subandy. Kritik Budaya Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra. 2011
Nasrullah, Rulli. Media Sosial. Bandung: Sembiosa Rekatama Media. 2015
Sumber lain
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H