Mohon tunggu...
Charlotte PBandono
Charlotte PBandono Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Batuah Barajaki

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tradisi Manugal: Hamonisasi Eksotisme Alam dan Budaya Luhur Suku Dayak Ngaju

14 Februari 2024   19:38 Diperbarui: 15 Februari 2024   21:46 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Dokumen pribadi 

Menurut Apandie dan Ar (2019), bagi masyarakat Dayak Ngaju, dalam pelaksanaan manugal terdapat nilai handep hapakat, yang memiliki makna: meskipun setiap individu melakukan pertanian secara mandiri, namun mereka tetap menjalin kerja sama dan bergotong-royong. Hal ini tentu memenuhi salah satu unsur pertanian berkelanjutan, benar, pilar People. Keberadaan Manugal tidak hanya sekadar sebagai kegiatan pertanian, tetapi juga sebagai simbol dari nilai-nilai kehidupan yang mengedepankan kerja sama dan harmoni antarindividu dalam masyarakat. Kerja sama ini terlihat dari tahap pembersihan lahan, pembakaran, penanaman padi, hingga proses panen. Konsep hidup berdampingan dan harmonis, yang tercermin dalam filosofi Huma Betang (Rumah Betang; rumah adat Kalimantan Tengah), merupakan bagian integral dari kehidupan masyarakat Dayak Ngaju.

Input sumber gambar
Input sumber gambar

Proses manual pada setiap tahapnya, manugal kembali memenuhi pilar pertanian berkelanjutan. Profit. Pemilik lahan tidak perlu membuang biaya besar untuk menyewa alat berat,  membeli bahan bakar, atau mengeluarkan kocek untuk menggajih pekerja dalam mempersiapkan lahan. Berdasarkan penelitian oleh Hartati dan rekan-rekan (2018), sebagai ungkapan terima kasih kepada mereka yang telah membantu, pemilik kegiatan Manugal (baca: pemilik lahan) akan menyediakan makanan dan minuman. Penyediaan makanan dan minuman ini menjadi simbol kegembiraan dan apresiasi dari pemilik lahan atas bantuan yang diberikan dalam menyelesaikan kegiatan manugal. Hal ini mengandung nilai kesabaran yang mengajarkan bahwa kesuksesan yang dicapai melalui sebuah proses yang panjang, karena di dalamnya terdapat perjuangan yang membentuk karakter seseorang.

Lahan manugal tidak dibajak, tidak digemburkan, atau bahkan seperti lagu masa kecil dahulu: cangkul, cangkul, cangkul yang dalam. Tidak ada bukit yang diratakan, bahkan pada lahan bergelombang sekalipun. Hanya lubang-lubang karya panugal. Seolah nenek moyang Dayak Ngaju mengisyaratkan, ada suatu lapisan tanah yang "tidak boleh tersentuh".  Lapisan pirit. Lubang-lubang tidak hanya sebagai rumah untuk benih tumbuh, tetapi sebagai undangan kepada langit untuk menjatuhkan airnya. Lubang, wadah penampung air. Manugal menjadi bahasa kasih suku Dayak Ngaju terhadap alam (Planet).

Sebuah Evaluasi

Sayangnya, peralihan lahan pangan ke lahan perkebunan di Kalimantan Tengah seolah-olah melupakan seluruh nilai-nilai manugal. Tidak. Tidak semua dilupakan. Sebagian masih diingat dengan baik. Cara pembersihan lahan dengan maneweng dan manyeha.  Pembakaran yang tadinya dilakukan hanya dalam lahan sempit, kini diterapkan guna ekspansi lahan yang berhektar-hektar luasnya. Namun, seakan hanya itu budaya kita, menebang dan membakar; handep hapakat ditinggalkan. Jelas, manyeha (membakar) membunuh banyak kawan-kawan kecil kita di dalam tanah. Menebang dan membakar seluasnya bukanlah sikap nilai handep hapakat dalam manugal. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun