Sesungguhnya tidak ada banyak perbedaan mendasar soal rasa. Yang mengemuka adalah variasi.
Banyak kreasi bakso, entah itu ukuran yang mulai dari sebesar bola golf hingga bola tenis, bahkan bisa lebih besar dari itu, dibuat dengan daging sapi, ayam, ikan, bahkan babi. Bahan dasar mi pun bermacam-macam, antara lain beras, gandum, atau tepung kacang hijau.
Belum lagi, tambahan bumbu dan ornamen lainnya untuk melengkapi semangkuk bakso. Selalu ada pilihan dan kemungkinan. Di balik berbagai variasi itu, yang pasti selalu ada bola daging, mi, juga kaldu.
Salah satu contoh adalah bakso Malang. Nama yang dikenal luas di negeri ini. Kuah bakso atau kuah kaldu dilengkapi dengan kaldu dari sumsum sapi dicampur bawang putih goreng yang dihaluskan.
Isiannya yang oleh orang setempat disebut "pentol" terkadang disajikan bersama aneka gorengan seperti bakso goreng, siomay goreng, kekian (cacahan daging), dan sebagainya.
Ada juga yang menambahkan isian lain seperti kulit atau jeroan. Jadi dalam semangkuk bakso hadir berbagai unsur sekaligus.
Tidak sampai di situ. Terdapat pula pilihan karbohidrat pendamping, mulai dari lontong, bihun, bahkan mi kuning yang tidak selalu menjadi pilihan di setiap tempat terkadang bisa ditemukan.
Selayang pandang
Aroma dan kelezatan bakso sudah menembus ruang dan waktu. Kabarnya, bakso sudah ditemukan di buku masak tertua di dunia. Di banyak kebudayaan sudah muncul sejak berabad-abad silam.
Ada sebutan "Four Joy Meatballs" yang merupakan hidangan pupuler yang disajikan selama perayaan besar di Cina seperti Tahun Baru Imlek. Â Jenis hidangan ini sudah dimulai sejak era Dinasti Qing atau Dinasti Manchu (1636-1912/1917M). Â
Kemudian orang Romawi kuno pun sudah mengenalnya. Mereka mendapatnya dari buku resep abad pertama bernama Apicus. Lengkapnya dalam bahasa Inggris: "On the Luxury of Apicius."Â