Ketiga, setelah membuat daftar anggaran, perlu komitmen. Untuk mendukungnya salah satu siasat adalah membuat catatan pengeluaran harian.
Kehadirannya membuat kita bisa menekan godaan yang bisa datang kapan saja. Kita akan tahu apa yang menjadi skala prioritas berikut anggaran yang telah dikeluarkan. Dengan demikian, kita akan terpacu untuk tidak boros alias berhemat.
Keempat, pada prinsipnya kebutuhan dan keinginan itu tidak sama, walau pada praktiknya kerap dianggap sama, bahkan tertukar, baik sengaja atau tidak.
Keinginan terkadang mendominasi. Kepura-puraan kita membuat setiap keinginan seakan-akan kebutuhan. Godaan promosi bisa membuat kita kalap.
Sebaiknya, momen Ramadan menjadi kesempatan untuk melakukan seleksi, refleksi, dan koreksi pada setiap hasrat kita.
Selain menuntut kesadaran diri, perlu intervensi dari berbagai pihak untuk menekan perilaku "nyampah."
MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait pengelolaan sampah. Fatwa Nomor 41 tahun 2014 memuat larangan berbuat "tabdzir" (menyia-nyiakan) dan "israf" (berlebihan).
Tujuannya jelas agar para pemeluk teguh menjauhkan diri dari perilaku yang membuat makanan terbuang percuma dan melebihi kemampuan konsumsi.
Gerakan "Ramadan Hijau" (Green Ramadan) yang sudah lama didengungkan jelas bertujuan untuk mengurangi sampah makanan saat Ramadan. Membuat lingkungan menjadi lebih sehat, baik itu diri sendiri maupun alam ciptaan di sekitar.
Di bulan yang penuh rahmat ini semangat pertobatan hendaknya juga mewujud dalam pemangkasan sikap "nyampah" yang jelas-jelas destruktif dan bertentangan dengan agama, seperti tertulis dalam QS al-Isra ayat 27, "Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya."