Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Perpanjangan Masa Jabatan Kades, Potret Buruk Tata Kelola Kebijakan Publik (Wawancara Khusus Direktur Eksekutif KPPOD)

25 Januari 2023   15:40 Diperbarui: 25 Januari 2023   15:48 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana terkait perpanjangan masa jabatan Kepala Desa (Kades) tengah menjadi buah bibir. Banyak pro dan kontra mengemuka.

Dukungan datang dari berbagai komponen merespon suara dan aksi Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) pada pertengahan Januari 2023 lalu.

Presiden Joko Widodo berada dalam gerbong yang sama. Orang nomor satu di negeri ini seakan memberi kode positif. Tidak keberatan dengan raison d'etre di balik gelora perubahan itu.

Namun, di pihak lain, muncul banyak keberatan berikut catatan kritis yang seharusnya menjadi perhatian utama. Alih-alih  menambah masa jabatan jauh lebih penting fokus pada perbaikan berbagai variabel determinan percepatan pembangunan desa.

Belum lagi, soal proses yang sudah, sedang, dan akan ditempuh dengan tunggangan kepentingan politik di tahun politik yang sudah berjalan akan rentan politisasi. Hal ini justru akan mengguratkan potret buruk tata kelola kebijakan publik di negeri ini.

Guna memberikan perspektif berbeda terkait polemik tersebut, Rabu (24/1/2023), saya menghubungi Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Armand Suparman.

KPPOD merupakan lembaga independen yang sudah eksis lebih dari dua dekade dengan fokus pemantauan pada berbagai hal terkait kebijakan dan pelayanan publik berbagai bidang.

Sepanjang itu, mereka rutin menghiasi wacana publik dan memberikan sumbangsih pemikiran melalui studi komprehensif, advokasi, dan asistensi teknis bagi peningkatan mutu tata kelola dan praktik penyelenggaraan pemerintah agar makin efektif, akuntabel, dan demokratis.

Armand Suparman, Direktur Eksekutif KPPOD (foto Armand Suparman)
Armand Suparman, Direktur Eksekutif KPPOD (foto Armand Suparman)

Berikut petikan wawancara selengkapnya (huruf miring merupakan pertanyaan dari penulis).

Ada usulan masa jabatan Kepala Desa (Kades) diperpanjang sampai 9 tahun atau tiga periode. Pimpinan Pusat Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Papdesi) bahkan sudah menggelar aksi di depan gedung DPR RI pada 17 Januari 2023 dalam rangka menyuarakan aspirasi tersebut. Bisa dijelaskan regulasi yang ada saat ini dan perubahan dimaksud?

Berdasarkan Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU No. 6 /2014, Kepala desa memegang jabatan selama enam tahum terhitung sejak tanggal pelantikan dan dapat menjabat tiga kali masa jabatan secara berturut atau tidak secara berturut-turut. Artinya, kades berpotensi menjabat selama 18 tahun (jika mendapat kepercayaan masyarakat desa).

Banyak alasan di balik usulan tersebut. Misalnya, efek konflik saat suksesi yang kadang melibatkan kerabat dekat sehingga waktu efektif untuk bekerja menjadi singkat. Lalu, masa bakti saat ini dirasa kurang cukup untuk menjalankan berbagai program lantaran diganggu oleh berbagai kepentingan konfliktual yang bisa memakan cukup waktu. Bagaimana Anda menanggapi hal ini?

Polarisasi masyarakat pasca-pemilihan, mulai dari level desa sampai kabupaten/kota/provinsi sudah menjadi cerita klasik. Bahkan, polarisasi pasca pilgub DKI Jakarta masih dirasakan sampai sekarang. Lantas, kita mengusulkan perpanjangan masa jabatan bupati/walikota/gubernur? Tentu tidak.

Usulan ini menurut kami, bagian dari upaya menutup kelemahan kades selama ini. Pertama, polarisasi yang berkepanjangan sesungguhnya menggambarkan rendahhnya kapasitas management konflik dari kepala desa.

Kedua, Kades punya RPJMDes dan RKPDes. Dokumen-dokumen ini merupakan buah perencanaan bersama yang matang sekaligus realistis dan dibahas-disetujui bersama masyarakat dan penyelenggara pemerintahan desa. Artinya, sudah terukur kebutuhan dan tindak efektivitas implementasinya dalam satu tahun anggaran. Jika tidak bisa direalisasikan, artinya ada yang salah dengan kemampuan kepala desa dalam menyusun dokumen perencanaan dan merealisasinya.

Lebih dari itu, justru dengan masa jabatan sembilan tahun, potensi konflik di masa depan justru semakin membesar. Karena setiap cakades dan para pendukungnya pasti berupaya dengan segala macam cara memenangkan kontestasi untuk mengamankan jabatan/kepentingan selama 9 tahun ke depan.

Lampu hijau Jokowi

Presiden Jokowi, melansir pernyataan Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko (Kompas.com, 17/1/2023), menganggap usulan tersebut masuk akal. Namun, ada yang menduga di balik lampu hijau Jokowi terkandung muatan politik tertentu. Bagaimana Anda membaca arah dukungan Jokowi dalam hal ini?

Kami melihat para kepala desa dan politisi di Jakarta memanfaatkan momentum tahun politik ini untuk saling bersimbiosis mutualisme. Kepala desa di 70 puluh ribuan desa merupakan aktor kunci untuk mengamankan kepentingan jelang 2024. Ini merupakan pasar potensial yang bisa dikapitalisasi oleh para politisi (partai politik). Di sisi yang lain, kades memanfaatkan posisi tawar itu untuk meng-golkan hasrat berkuasa lebih lama lagi (lebih dari 6 tahun).

Di satu sisi, usulan itu cukup menuai respon positif. Si sisi lain, sejatinya perlu kajian serius dan mendalam dengan melibatkan semua pihak, baik di tingkat juklak dan juknis. Perlu implementasi utuh dan komprehensif nantinya. Tambahan lagi, karakteristik desa-desa di Indonesia sangat beragam dan periode pemilihan pun tak seragam. Bagaimana Anda melihat ketegangan ini?

Usulan penambahan masa jabatan kades berikut dukungan politisi (partai politik) menggarisbawahi buruknya tata kelola kebijakan publik kita. Sudah banyak contoh beberapa tahun terakhir: polemik revisi UU KPK, UU Ciptakter, KUHP, dll.

Mengapa buruk? Pertama, para policy maker, terutama DPR dan menteri yang berasal partai politik, cerdik memanfaatkan situasi atau mengkondisikan situasi tertentu untuk menerbitkan kebijakan secara instan.

Kedua, proses kebijakan tidak akuntabel, nir-transparan dan minim partisipasi publik.

Jika mau sistematis dan akuntabel, usulan perpanjangan masa jabatan kades, semestinya dimulai dari kajian sistematis, ada daftar inventarisasi masalah (DIM), kemudian dilempar dan dibahas bersama publik. Kami menduga dengan respon positif dari para policy maker di Pusat terkait masa jabatan 9 tahun ini, dokumen ilmiah terkait semisal naskah akademik dan DIM akan "disesuaikan" untuk memuluskan realisasi usulan ini.

Desa adalah ujung tombak pembangunan. Wakil Menteri Desa, Budie Arie lugas menyebut masa depan Indonesia ada di desa. Perpanjangan masa jabatan Kades akan dengan sendirinya memberi dampak positif pada hal tersebut?

Variabel determin percepatan pembangunan desa adalah pertama, di level desa, kualitas tata kelola, mulai dari perencanaan, penganggaran, kebijakan, kelembagaan, dan pelayanan publik yang akuntabel, transparan, dan partisipatif.

Kedua, di level supra-desa, penguatan binwas kab/kota/provinsi terhadap desa. Selama kedua aras ini, tidak mendapatkan perbaikan, desa sebagai ujung tombal pembangunan hanya akan menjadi slogan kosong.

Matikan Api Demokrasi

Saat ini, kue anggaran pembangunan yang disalurkan ke desa-desa tidak sedikit. Malahan ada anggapan presentase 2,56 persen dari APBN untuk dana desa itu masih sangat kecil. Dianggap tak sebanding luas wilayah Indonesia yang 91 persen adalah desa dan 85,1 persen penduduk menetap di sana. Bagaimana evaluasi sejauh ini dan kaitannya dengan perpanjangan masa jabatan itu?

Pertama, jika melihat kinerja desa di Indeks Desa Membangun beberapa tahun, ada peningkatan level desa, mulai dari sangat tertinggal, tertinggal, berkembang, maju sampai level mandiri. Artinya, dana desa memberikan kontribusi yang positif.

Kedua, meski masih ada gap besar dengan kemiskinan perkotaan, tingkat kemiskian pedesaan menurun. Kami juga melihat ini tak bisa dilepaskan dari hasil pemanfaatan desa. Begitu juga terkati peningkatan kualitas infrastrktur di desa, ada perbaikan.

Namun, meningkatkny kasus korupsi kepala desa, mengindikaskan ada yang salah dalam tata kelola dana desa, terutama di sistem pengawasana, mulai dari perencanaan, imlementasi dan monitoring. Pada titik ini, kami melihat fungsi BPD dan inspektorat kabupaten belum optimal. Ini justru butuh atensi lebih dalam wacana revisi UU Desa.

Ada desakan agar pemerintah memasukan usulan itu ke dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 sebelum Pemilu 2024 mendatang. Dengan kata lain, perlu diakomodir dalam Prolegnas 2023. Bila demikian maka Undang-Undang (UU) Desa perlu direvisi. Sejauh mana peluang wacana ini menjadi kenyataan?

Belajar dari sejumlah kebijakan/UU beberapa tahun ini, peluangnya sangat besar jika semua fraksi di DPR setuju. Apalagi sudah ada lampu hijau dari Presiden. Tapi bagi kami, jika ini menjadi kenyataan, kita justru mematikan api demokrasi di level desa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun