Sebuah pengalaman
Selain perangkat dan pengakuan formal, penting pula setiap majikan memiliki sikap dan pandangan yang benar. Para pemberi kerja perlu menempatkan PRT laiknya manusia yang bermartabat.
Jangan sampai karena menganggap diri pemberi kerja, majikan bertindak sesuka hati. Diperlakukan secara tak adil dan tak beradab.
Memang dalam pengalaman sehari-hari tidak semua tindakan mereka bisa menyenangkan hati dan memuaskan. Terkadang mereka melakukan kesalahan, entah sengaja atau tidak. Namun, tetap perlu memperlakukan secara wajar, denga pujian dan penghargaan yang pantas, dengan sanksi yang wajar.
Sejauh pengamatan dan pengalaman saya, memang tidak mudah mendapat PRT sebagaimana yang diinginkan. Setiap pemberi kerja memiliki kriteria tersendiri. Begitu juga dari sisi PRT tidak sepenuhnya sanggup memenuhi keinginan dan harapan pemberi kerja.
Bila itu terjadi, maka sebaiknya dikomunikasikan secara terbuka. Memberikan kepada mereka apa yang menjadi hak mereka. Dengan begitu mereka akan melayani dengan sungguh.
Pertama, memperlakukan mereka dengan hormat. Seperti disinggung di atas, mayoritas PRT adalah perempuan.
Tidak sedikit yang sudah berusia dewasa, bahkan seumuran dengan ibu atau terkadang nenek sang majikan.
Sulit membayangkan bila mereka itu kemudian mendapat perlakuan tak manusiawi. Menjadi sasaran amarah, tong sampah kata-kata tak sopan, bahkan kekerasan fisik.
Memang soal kualitas pekerjaan terkadang tidak bisa dikompromi. Namun, tidak menjadi alasan untuk tidak menaruh respek dengan memanggil namanya dengan sopan, menyapanya seperti anggota keluarga, juga memberikan perhatian yang semestinya.
Memenuhi kebutuhan dasarnya, memberikan makanan yang sesuai, dan membiarkannya tinggal di tempat yang nyaman. Mereka sudah meninggalkan keluarga untuk melayani maka tidak ada alasan untuk merendahkan mereka.