Dalam perjalanan waktu, Nando kemudian terpilih memimpin Desa Detusoko Barat sejak Januari 2020. Sebagai kepala desa, ia memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menerjemahkan secara lebih terencana dan luas berbagai inisiatif untuk menjadikan Detusoko Barat sebagai desa wisata.
Pertama, Detusoko Barat dikembangkan sebagai salah satu spot agrowisata. Mengusung tagline "come as a guest back as a family", para pengunjung diajak untuk tidak hanya melihat dari jauh tetapi juga merasakan dari dekat pengalaman menjadi orang Detusoko.
Sambil menyusuri persawahan untuk melihat pengolahan secara tradisional, pengunjung pun diajak terlibat aktif dalam berbagai aktivitas mulai dari menaman dan memanen padi, treking, atraksi kopi, hingga pembuatan produk olahan seperti Peanut Butter dan Moni marmalade.
Peanut Butter atau selai kacang yang dibuat dari kacang tanah yang disangrai dan dihaluskan. Sementara itu, alam yang dianugerahi produksi jeruk melimpah diolah menjadi selai jeruk yang diberi nama Moni Marmalade.
Selain itu, ada produk lain yang dinamai Koro Dagalai Sauce. "Koro" dalam bahasa setempat berarti lombok. "Dagalai" artinya tomat. Campuran lombok dan tomat ini menjadi sambal yang lezat.
Patut dicatat, warga setempat berasal dari Suku Lio, salah satu suku tertua di Flores. Menariknya, suku ini dikenal sebagai penemu padi atau dari mana Ine Pare (ibu padi) berasal. Kisah ini juga bisa ditemukan padanannya dalam kisah Dewi Sri, Dewi Padi di Pulau Jawa, Bali, dan Lombok.
Tanaman padi hitam dan merah yang diproduksi secara organik menjadi nilai jual tersendiri. Padi hitam organik merupakan spesies khas padi lokal yang disebut "Pare Banga Laka" yang beraroma khas.
"Melalui aktivitas ini terbangun interaksi aktif pengunjung dengan petani sehingga ada pertukanan informasi, pengetahuan, dan pengalaman," beber Nando dengan menambahkan bentuk interaksi lain antara misatawan mancanegara dengan masyarakat terutama anak-anak setempat dalam belajar bahasa Inggris.