Pertandingan sepak bola tidak hanya soal menang dan kalah. Tidak semata-mata tentang gol, rekor, statistik, dan hasil akhir.
Ada banyak hal juga ikut terlibat. Salah satunya adalah gengsi dan harga diri. Apalagi bila mempertemukan dua tim dengan sejarah persaingan tersendiri.
Itulah yang terjadi ketika timnas U-17 dari Indonesia dan Malaysia bertemu di laga terakhir Grup B Kualifikasi Piala Asia U-17 2023 di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor, Minggu (9/10/2022) malam WIB.
Duel ini tidak hanya soal perebutan status juara grup. Tidak hanya tentang tiket lolos otomatis ke putaran final yang semula akan digelar di Bahrain, namun belum juga ditentukan setelah negara Timur Tengah itu menarik diri.
Rivalitas di antara dua negara bertetangga dan serumpun itu selalu membayang di setiap arena pertandingan. Atmosfer hangat dan tensi tinggi tidak haya terjadi di lapangan, tetapi juga di jagad maya.
Pihak yang menang tentu akan tersenyum gembira. Sebaliknya, yang kalah dalam duel sarat gengsi itu akan larut dalam kekecewaan. Akan ada yang merasa malu dan tersakiti dari setiap hasil minor.
Memang di setiap kekalahan dan kemenangan, dua perasaan berbeda akan selalu muncul dengan sendirinya di setiap tim dan kubu pendukungnya. Â
Kekalahan telak dari Malaysia kali ini juga meninggalkan kekecewaan tersendiri bagi tim Indonesia dan segenap pendukungnya. Kalah dengan skor mencolok, 1-5. Di kandang sendiri pula meski hanya disaksikan deretan bangku kosong.
Dari luar sana, dari layar kaca dan berbagai saluran, ratusan juta pasang mata sedang memantau. Mereka menyaksikan dengan harapan dan kerinduan besar. Dukungan kepada tim kesayangan agar bisa memetik kemenangan dan mengunci status jawara grup.
Para fan Indonesia sungguh berharap Garuda Asia di bawah asuhan Bima Sakti bisa menjaga tren positif sejak laga pertama. Bila tak sanggup mewujudkan misi sapu bersih, setidaknya cukup dengan menahan imbang.
Satu poin saja sudah cukup bagi Indonesia untuk mengunci pemuncak grup dan memberi sang rival bebuyutan perasaan "harap-harap cemas" yang dalam untuk menantikan apakah mereka bisa kebagian satu dari enam tiket lolos via runner-up terbaik.
Ternyata skenario indah itu bertepuk sebelah tangan. Tidak ada satu poin hari ini. Yang ada adalah kekalahan mencolok yang mengirim tim muda Indonesia dalam situasi gundah gulana, berharap masih bisa lolos melalui pintu terakhir.
Lantas, apa yang membuat target itu tak bisa digapai? Adakah yang salah dengan performa Garuda Asia di laga pamungkas grup ini?
Kekalahan itu jelas menunjukkan sejumlah titik lemah tim racikan Bima Sakti. Dihancurkan negara tetangga dalam tempo 30 menit, serentak meluluhlantahkan segenap puja-puji yang mengiringi hasil gemilang sejak pertandingan pembuka menghadapi Guam.
Saya melihat sekurang-kurangnya ada empat pelajaran penting.Â
Pertama, Indonesia yang tampil dengan formasi andalan 4-1-4-1 sesungguhnya mengawali pertandingan dengan meyakinkan. Beberapa peluang emas langsung tercipta melalui skema serangan cepat dan kombinasi umpan-umpan pendek.
Sayangnya, kesempatan emas yang gagal dimanfaatkan sebelum 15 menit laga berjalan kemudian hanya menjadi pelipur lara.
Malaysia dengan jeli membaca titik lemah tuan rumah. Mereka seperti menanti kapan Indonesia mulai kehilangan kendali. Serangan cepat memanfaatkan kelengahan dan rapuhnya barisan belakang adalah senjata yang terbukti ampuh.
Mula-mula di menit ke-19, saat Muhammad Zainurkhakimi Zain yang berapa di titik yang tepat untuk menyambut umpan ke tiang jauh.
Gol itu sungguh mengguncang mental dan semangat Garuda Asia. Tak butuh waktu lama bagi Harimau Muda untuk menggandakan keunggulan. Semenit berselang, Muhammad Arami Wafiy sukses mengkonversi serangan balik yang dibangun dengan apik.
Belum sempat Indonesia menarik napas untuk menyusun kembali puing-puing kehancuran, Malaysia kembali mencetak gol ketiga. Giliran Muhammad Anjasmirza yang mencatatkan namanya di papan skor di menit ke-24.
Gol ini tidak lepas dari kesalahan Sultan Zhaky yang kehilangan bola di kotak penalti. Sultan yang mengenakan ban kapten juga ikut andil bagi gol kelima tim tamu dengan pelanggaran yang ia lakukan di kotak terlarang.
Seperti kita tahu, dua menit kemudian Muhammad Afiq Danish tak ketinggalan mencetak gol. Â Tak kurang dari 26 menit Andrika Fathir Rachman empat kali memungut bola dari dalam gawangnya.
Arami Wafiy mencetak brace setelah sukses mengeksekusi penalti di menit ke-40, sekaligus membuat tuan rumah tertinggal lima gol tanpa balas di paruh pertama. Para pemain melangkah lunglai ke ruang ganti seperti tak percaya dengan apa yang baru terjadi.
Tapi itulah kenyataan yang harus diterima dan tanggung jawab yang harus dipikul. Buah dari soliditas rapuh dan mudahnya kehilangan konsentrasi saat ditekan. Indonesia hanya mampu mencetak gol hiburan melalui Arkhan Kaka di penghujung laga. Satu gol yang sama sekali tak cukup mengobati sakit hati.
Kedua, bila kita memperhatikan tren penampilan Garuda Asia sepanjang babak penyisihan, sesungguhnya tidak menampilkan grafik positif.
Setelah pesta 14 gol tanpa kebobolan atas Guam, lalu susah payah menekuk Uni Emirat Arab, 3-2, permainan Indonesia mulai menurun saat menghadapi Palestina di laga ketiga.
Indonesia sukses memetik kemenangan dua gol tanpa balas. Namun, intensitas dan efektivitas serangan Indonesia jauh dari kata memuaskan.
Situasi ini berbanding terbalik dengan kubu Malaysia. Menghajar Palestina 4-0, kemudian diimbangi tim paling lemah di grup, Guam 1-1 membuat mereka sungguh berbenah. Menghadapi Uni Emirat Arab mereka bisa mengunci kemenangan 3-2 kemudian performa mereka semakin meningkat hingga menggapai klimaks saat menggasak Indonesia.
Pertanyaan mendasar kemudian adalah apa sebab penampilan Indonesia berakhir antiklimaks? Salah satu yang bisa disebut adalah menurunnya kondisi fisik para pemain.
Sejak laga pertama kontra Guam pada 3 Oktober, lalu versus Uni Emirat Arab dua hari kemudian, dua hari berselang bersua Palestina, sebelum meladeni Malaysia dua hari setelah itu, para pemain Indonesia jelas memiliki waktu istirahat sangat sedikit.
Sejumlah besar pemain yang selalu diandalkan Bima Sakti harus bermain tiga kali dalam lima hari. Sialnya, laga-laga itu digelar malam hari yang membuat fisik para pemain muda itu semakin terkuras. Apakah kita bisa berbicara tentang konsistensi dalam situasi seperti ini? Jelas tidak!
Ketiga, memang soal jadwal tidak bisa dijadikan pembenaran lantaran situasi serupa juga dialami kontestan lain.
Namun, bedanya Indonesia dan Malaysia khususnya, adalah bagaimana bersiasat. Menghadapi jadwal yang begitu padat, kedua tim ternyata memilih pendekatan berbeda.
Malaysia, misalnya, berani melakukan rotasi besar-besaran saat menghadapi Guam di laga kedua. Aliff Aiman, Faris Danish, Afiq Danish H., Dainei Mat Disa, Danish Iskandar, Adam Mikael, Mulia Hairi, Afiq Hakimi, Ammar Shauqi, Zainurhakimi Zain, dan Nabil Fitri diberi kepercayaan mengisi"starting line-up" empat hari lalu.
Memang hasil akhir 1-1 saat itu, berujung kecaman dari mana-mana, terutama dari para penggemar mereka. Pelatih Malaysia, Osmera Bin Omaro berani menelan rasa pahit itu.
Namun, mereka kemudian bayar dengan hasil meyakinkan saat menghadapi Indonesia yang justru tetap mengandalkan kekuatan yang hampir sama dari laga ke laga.
Dari 23 pemain dalam skuad, Bima Sakti hanya mengandalkan nama-nama seperti Andrika Fathir Rachman di bawah mistar gawang, berikut Sultan Zaky, Habil Abdillah, dan Ridzdjar Nurviat di lini belakang.
Kafiatur Rizky, Nabil Asyura, Riski Afrisal, hingga Arkhan Kaka Putra hampir selalu diandalkan coach Bima dan diturunkan sejak menit awal sejak pertandingan pertama.
Sementara di kubu Malaysia, sejumlah sosok seperti Farish Farhan, Danish Darus, Aiman Yusuf, Adib Ibrahim, Zulkifli, Hasniruddin Arami Wafiy, dan Anhasmirza Saharuddin yang sengaja dicadangkan bahkan diparkir saat menghadapi Guam, tampil baik dalam meladeni para pemain Indonesia yang tampak kelelahan.
Bagaimana kecepatan para pemain depan hingga ketangguhan Farish Farhan di bawah mistar gawang membuat Indonesia keteteran lantas mati kutu.
Keempat, soal strategi dan formasi tentu Bima Sakti memiliki pertimbangan dan alasan tersendiri. Bisa jadi, baginya mereka adalah pemain terbaik di setiap posisi. Target sapu bersih kemenangan menuntutnya untuk mengandalkan amunisi unggulan itu.
Namun, bila terlalu memaksa pemain dengan waktu istirahat dan pemulihan sangat singkat jelas mengandung risiko tersendiri. Saat menghadapi laga krusial dan sarat gengsi seperti ini para jagoan itu justru menjadi sasaran empuk lawan yang tampil dengan skuad yang lebih segar.
Di sisi lain, Bima Sakti dan para pemain sepertinya terlalu yakin bakal mengatasi Malaysia yang rekam jejaknya tidak sementereng Indonesia.
Bila sampai ada perasaan jemawa sebelum laga, maka tidak mengherankan bila kita kemudian menanggung akibatnya.
Kini, dengan rasa malu yang entah sampai kapan terbalaskan, nasib Garuda Asia sepenuhnya berada di tim-tim lain.
Malaysia boleh melenggang mulis ke putaran final. Indonesia harus menantikan hasil dari laga-laga di sembilan grup lainnya. Berhadap satu dari enam tiket terakhir bisa diraih dengan modal kemenangan telak atas Guam dan tak kebobolan saat menghadapi Palestina.
Namun, sekali lagi, tidak ada yang bisa mengontrol tim-tim lain. Posisi sementara ini, Indonesia masih berpeluang, menempati posisi keenam di belakang Thailand (Grup F), Bangladesh (Grup E), India (Grup D), Tajikistan (Grup H), dan China (Grup G).
Kita berharap formasi tersebut tetap bertahan hingga babak kualifikasi usai. Setidaknya Indonesia tetap berada dalam lingkaran enam peringkat kedua teratas.
Bila sampai itu terjadi, maka akan menjadi sebuah berkah tersendiri bisa naik level, tampil di putaran final kompetisi Asia. Sekaligus, ini menjadi kesempatan untuk berbenah menjadi lebih siap. Baik fisik maupun mental, entah strategi maupun skill, agar Garuda Asia lebih solid dan matang sehingga bisa terbang lebih tinggi tahun depan.
Sekali lagi, kita berharap agar jalan terakhir bagi Indonesia masih terbuka.
Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H