Mereka membuktikan kualitas mereka yang sudah patut diperhitungkan. Selain 12 nama yang sudah dikenal publik futsal dalam negeri, ada dua debutan yang dipanggil pelatih Indonesia asal Iran. Keduanya adalah Iqbal Iskandar dan Wendy Brian Lindrey.
Muhammad Hashemzadeh ternyata bisa meramu tim Indonesia. Solid dalam bertahan baik saat membentuk zona marking maupun duel satu lawan satu, begitu juga cepat saat menyerang, yang ditopang oleh kepercayaan diri yang tinggi.
Menghadapi Jepang, para pemain muda Indonesia menunjukkannya secara jelas. Kekuatan Jepang tidak hanya bertumpu pada kebesaran nama tetapi juga para pemainnya. Sebagian besar pemain Jepang adalah pemain senior.
Tiga dari antaranya malah pemain naturalisasi asal Brasil. Penjaga gawang Higor Pires (kelahiran 1980) sudah wira-wiri di Liga Futsal Jepang sejak 2009.
Selanjutnya, Arthur Oliveira. Flank kelahiran Xaxias do Sul, 1990 itu sudah mengenal Liga Futsal Jepang sejak 2015. Sebagai salah satu pemain berpengalaman, ia dipercaya Kogure untuk memimpin tim.
Vinicius Crepaldi, pivot yang sudah berkarier di Jepang sejak 2011. Pemilik nomor 10 yang lahir 1987 juga menjadi andalan kali ini.
Ketiganya bahkan sempat diturunkan sang pelatih secara bersamaan saat dalam keadaan tertinggal dari Indonesia.
Keempat, Indonesia memang gagal melangkah jauh. Kesempatan emas kali ini hanya berakhir di babak perempat final.
Namun, kekalahan dari Jepang sesungguhnya menunjukkan sisi positif sekaligus memberikan Indonesia banyak pelajaran.
Positifnya, banyak sudah disinggung di atas, Indonesia pun sudah menunjukkan diri sebagai tim yang kini patut diperhitungkan, tidak hanya di level Asia Tenggara tetapi juga Asia.