"Saya memang menyukai hobimu. Saya pun mendukung agar kamu bisa menikmatinya. Saya juga tidak memintamu untuk melepasnya begitu saja. Namun, saya merasa, hobimu itu sudah sampai menyita semua perhatian."
Dengan kata-kata seperti itu, pasangan pasti merasa bahwa obsesi pada hobi itu sudah mengambil alih waktu dan perhatian yang seharusnya bisa dibagikan dengan yang lain.
Sebelum itu, bisa menyiapkan sejumlah saran yang bisa dinegosiasi dengan pasangan. Misalnya soal pembagian waktu antara urusan hobi dan relasi. Mengalokasikan waktu dalam seminggu untuk dihabiskan bersama agar hobi tidak sepenuhnya mengambil alih.
Dengan demikian, situasi tampak lebih adil. Pasangan tak perlu risau kehilangan perhatian. Sementara hobi tidak lagi mendominasi.
Pentingnya komunikasi adalah untuk membangun keterbukaan. Bisa jadi perbedaan sikap dan pilihan itu karena masing-masing terkungkung dalam dunianya sendiri.
Bagaimana pun tidak semua orang adalah pembaca pikiran dan isi hati. Istri bukan ahli nujum bagi suami. Begitu juga sebaliknya.
Untuk itu perbedaan itu harus dijembatani dengan komunikasi. Tujuannya agar tidak sampai membuat jarak semakin melebar, membuka ruang bagi timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan.
Bila ketidaknyamanan terkait kebutuhan dasar seperti perhatian tidak diurai maka akan menjadi bom waktu yang seketika bisa meledak.
Hal-hal kecil bisa menimbulkan ledakan besar. Misalnya, tiba-tiba saja pasangan naik pitam dan meledak-ledak saat suami atau istri hendak menjalankan hobinya.
Baru saja berganti pakaian olahraga, atau tengah menyiapkan peralatan bermain, atau sedang bersiap menyalakan televisi, tiba-tiba muncul teriakan yang membabi-buta.
Kedua, ketika pasangan sepakat dengan pembagian tersebut, maka sebagai suami atau istri penting untuk memaknai kesempatan saat pasangan menekuni hobi sebaik mungkin. Jangan sampai waktu hanya dihabiskan untuk menanti pasangan menyelesaikan urusan dengan hobinya.