Itu adalah prestasi terakhir yang menjadi puncak perjalanan panjang Greysia sejak bergabung di tim nasional Indonesia pada 2003.
Selama 19 tahun, Greys sudah sering berganti pasangan. Heni Budiman, Jo Novita, Vita Marissa, Meiliana Jauhari, Nitya Krishinda Maheswari, hingga Apriyani adalah partnernya di ganda putri.
Tidak sampai di situ. Greys juga pernah menjajal nomor ganda campuran. Hasilnya bahkan tidak buruk. Bersama Muhammad Rijal, mereka menggondol medali perak Kejuaraan Dunia Junior 2004 di Kanada.
Bisa bertahan nyaris satu dekade dengan adaptasi yang terus dilakukan setiap berganti tandem jelas mensyaratkan ketangguhan fisik dan psikis.
Ketika banyak pemain gampang menyerah setelah status quo direnggut, Greys justru menunjukkan sebaliknya. Tidak ada kemapanan dalam kehidupan seorang atlet. Yang ada hanyalah adaptasi, adaptasi, dan adaptasi. Di dalamnya ada proses belajar tanpa henti. Termasuk kerelaan untuk selalu kembali ke titik nol.
Ditinggal sang kakak, Rickettsia Polii pada 2020 adalah pukulan terbesar dalam hidupnya. Kepergian sosok yang sudah menggantikan peran sang ayah sejak berusia 2 tahun sungguh mengguncang Greys.
Ia tidak patah arang. Ia justru semakin termotivasi untuk berprestasi. Kualitas yang ditunjukkan oleh seorang yang berjiwa besar.
Kedua, Greys tidak pernah tampil setengah hati. Melihat Greys bertanding, kita menjumpai totalitas di sana.
Dengan setiap pasangan, ia selalu berjuang sekuat tenaga. Ia berusaha membangun ikatan dan soliditas.
Hasilnya, mereka bisa meraih banyak gelar. Mulai dari level junior dengan mengawinkan medali perak nomor ganda campuran dan perunggu ganda putri bersama Heni Budiman pada 2004 silam.
Selanjutnya, juara Phillipines Open 2006 bersama Jo Novita, lantas Thailand Open, Taiwan Open, Korea Open, Singapore Open, hingga medali emas Asian Games 2014 bersama Nitya.