Salah satu momen yang ditunggu saat Hari Raya Idul Fitri adalah silaturahmi dengan sahabat, keluarga, dan kenalan. Kesempatan yang ditunggu-tunggu yang membuat orang rela mengorbabankan banyak hal, entah waktu, tenaga, maupun uang agar bisa bertemu muka.
Sudah menjadi bagian dari tradisi di negeri ini, menjelang Lebaran, orang memilih pulang kampung. Bahkan ada yang rela menempuh perjalananan jauh nan melelahkan, menembus kemacetan, dan melewati berbagai rintangan. Semua demi dan hanya untuk silaturahmi.
Dalam dua tahun terakhir tersebab pandemi Covid-19, aktivitas mudik mengalami pembatasan. Banyak orang terpaksa menahan diri untuk tidak bepergian. Pertemuan dengan keluarga diantarai oleh dan rasa rindu pada orang-orang terdekat disalurkan melalui teknologi.
Situasi tahun ini semakin kondusif. Memungkinkan silaturahmi dijalin secara luring. Tak mengherankan situasi mudik tahun ini seperti kembali ke masa-masa sebelum dunia dihantam Covid-19.
Bila kita memendam niat yang besar, kerinduan yang semakin membuncah, dan pengorbanan yang tidak sedikit, apakah kemudian kita rela merusak kesempatan istimewa itu dengan pembicaraan yang justru menodai silaturahmi?
Dalam pembicaraan, kita jelas dibatasi oleh etika dan etiket. Hal ini untuk menjaga agar lawan bicara tidak merasa terganggu atau disakiti.
Selain itu, rambu-rambu tersebut memungkinkan pembicaraan itu berhasil guna. Memberikan manfaat positif, alih-alih memanen petaka.
Rasa rindu setelah sekian lama tak berjumpa dari muka ke muka, mengikatkan tali persaudaraan, memberikan pelajaran, hingga mendapat pelajaran dari pihak lain adalah sedikit dari manfaat dari komunikasi yang baik.
Saat kita berbicara, berinteraksi, kita justru memberi manfaat dan membantu kita menjadi lebih dekat dengan orang lain. Berbicara akan mendapatkan manfaat sebesar-besarnya bila dilakukan dengan benar.