Soal memberi atau bersedekah ada satu petuah yang sama dalam beberapa agama. Â Dalam Islam, ada hadits yang berbunyi demikian, Â "... seorang yang mengeluarkan suatu sedekah, tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya."
Paralel dengan itu, Alkitab memberikan petuah serupa kepada para pembacanya. Seperti tertulis di Injil Matius 6:3, "Tetapi jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu."
Bagaimana bisa aktivitas dua organ tubuh dengan fungsi yang sama pada tubuh yang sama tidak boleh saling mengetahui? Apakah memungkinkah seperti itu? Tentu tidak.
Sesungguhnya, "tangan kiri" dan "tangan kanan" ini perlu dipahami secara analogis. Sebab itu, pemahaman dan penafsiran akan beragam.
Salah satu tafsiran yang cukup populer adalah perbuatan sedekah itu tidak perlu diumbar, dipamer, atau dipublikasikan. Bersedekah itu perlu, malah dianjurkan, hanya sebaiknya dilakukan dalam diam, seperti menyembunyikan sesuatu yang sukar disembunyikan.
Alasannya, melanjutkan petikan Injil Matius di atas, "Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu."
Senada dengan itu, dalam surat al-Baqarah ayat 271, "Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu."
Kurang tepat
Ada satu tulisan menarik dari Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdatul Ulama (UNU) Surakarta yang dipublikasikan di www.nu.or.id (29/12/2016). Seperti judul tulisannya "Reinterpretasi Tangan Kanan dan Tangan Kiri dalam Besedekah," Ishom coba membaca analogi itu secara lain.
Tesisnya adalah pemahaman tangan kiri dan tangan kanan mengacu pada diri sendiri dan orang lain tidaklah tepat. Saya coba menyajikan kembali beberapa poin keberatan, pemahaman yang lebih berterima, serta argumentasinya.
Pertama, tangan kiri dan tangan kanan adalah pasangan anggota badan dalam diri seseorang, seperti telinga kiri berpasangan dengan telinga kanan, begitu juga kaki, dan anggota tubuh lainnya yang berpasangan.
Kedua, menurutnya, "tangan kanan" dan "tangan kiri" lebih mengacu pada simbol "kebaikan" dan "keburukan."
Ia mengutip Surah Al Waqi'ah, ayat 27 yang memuat istilah "ashabul yamin" (artinya golongan kanan); dan dalam ayat 41 terdapat istilah "ashabus syimal" (artinya golongan kiri). Â Golongan kanan adalah orang-orang baik, sementara golongan kiri adalah sebaliknya.
Sejalan dengan itu, "tangan kanan" merupakan simbol perbuatan baik atau positif, sementara "tangan kiri" adalah simbol negatif.
Bila "tangan kanan" menunjukkan amal sedekah kepada orang lain dengan niat yang tulus dan berlandaskan "nafsul muthmainnah" (hasrat yang baik), maka "tangan kiri" adalah perbuatan negatif yang dipicu oleh "nafsul ammarah bis suu" seperti pamrih, riya (pamer), dan sombong.
Masih relevan?
Berbagai tafsiran itu sebenarnya mengerucut pada kesimpulan yang sama. Berbuat baik atau bersedekah hendaknya dilandasi niat yang tulus, bukan untuk memamerkan diri.
Lantas, apakah bersedekah itu perlu diumbar, dipublikasikan, atau sebaiknya dilakukan secara tertutup? Apakah yang dilakukan secara tertutup akan lebih baik dan dijamin penuh keikhlasan? Apakah bisa dipastikan yang bersedekah secara anonim benar---benar lepas dari rasa bangga?Â
Begitu juga, yang melakukan secara terang-terangan apakah semata-mata untuk mencari popularitas? Di tengah dunia yang serba terbuka, apakah masih relevan kita bersedekah secara diam-diam?
Soal niat jelas sulit diidentifikasi. Apakah ada orang yang bisa membaca isi hati seseorang? Terlepas dari kerumitan tersebut, sebaiknya kita maju satu langkah untuk mencapai pemahaman yang lebih berimbang.
Pertama, sedekah sebenarnya sudah memberi batasan yang jelas dalam dirinya sendiri. Pengertian sedekah mengandung sejumlah kalimat kunci seperti pemberian kepada orang lain, dilakukan secara ikhlas atau sukarela, juga tidak dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu.
Wujudnya pun beragam. Tidak hanya zakat atau infak. Tidak hanya soal memberi atau menyumbang harta benda, tetapi juga terkait amal dan perbuatan baik.
Kedua, bila masih timbul perdebatan, kitab suci sudah memberikan jalan tengah. Surah Al Baqarah, ayat 274 jelas menulis demikian.
"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Sedekah tertutup hanyalah salah satu cara, bukan satu-satunya. Sedekah secara terbuka atau tertutup tetap memiliki ganjaran tersendiri. Tidak ada sedekah yang tidak bermakna.
"Orang-orang yang menginfakkan hartanya malam dan siang hari (secara) sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati." (Surat al-Baqarah ayat 274).
Kedua, dunia dengan segala kemajuannya sudah menghadirkan banyak perangkat atau instrumen untuk bersedekah. Kita bisa berbagi melalui sosial media. Perbuatan-perbuatan itu pun tak bisa luput dari pemberitaan.
Jamak publikasi soal ibadah, sedekah, bahkan hingga hal-hal yang sungguh pribadi di ruang publik dan dunia maya. Kita bisa mendapatkan tangkapan layar, tayangan video, petikan kalimat, dan sebagainya yang terpublikasi di media sosial.
Aksi orang berbagi dan bersedekah mudah dijumpai dan mudah juga disebarkan. Apakah ada orang yang bisa mengontrol semua itu?
Ketiga, terkait poin kedua, aktivitas kita zaman ini sulit untuk ditutup-tutupi. Jangankan perbuatan besar yang melibatkan banyak orang, tindakan dalam ruang lingkup kecil sekalipun bisa dengan mudah menjadi buah bibir dan menjadi viral.
Laiknya berbuat sesuatu dengan dan kepada pihak lain, tentu perbuatan itu tidak lagi bisa disembunyikan atau tersembunyi, kecuali kedua pihak itu melakukannya dengan mata tertutup. Kekuatan teknologi, baik media, maupun sosial media sulit dibendung.
Keempat, zaman yang begitu dinamis dan kian terbuka sebenarnya memberikan banyak kemudahan. Kita bisa bersedekah karena digugah oleh dan melalui berbagai cara. Keterbukaan membuka banyak pilihan sekaligus bisa menjadi alat kontrol.
Saat sedekah itu memiliki ruang lingkup yang luas dengan melibatkan banyak orang maka perlu keterbukaan atau transparansi.
Transparansi ini perlu untuk mengendalikan diri dari kecenderungan-kecendrungan buruk seperti penyalahgunaan, mengontrol sistem, sekaligus menjadi tanda kerelaan untuk diaudit.
Berkembang dan bertumbuhnya organisasi atau lembaga penyalur zakat perlu dibarengi dengan akuntabilitas dan transparansi.
Kelima, ada yang percaya bahwa kebaikan itu bisa menular. Kepercayaan ini tidak sia-sia bila kita melihat begitu banyak orang yang kemudian tergerak untuk berbagi setelah melihat potongan video, gambar, dan cerita.
Pemandangan seperti ini semakin lumrah di dunia penuh keterbukaan ini. Justru, keterbukaan seperti ini menantang kita.
Dunia semakin maju tetapi kehidupan terkadang bergerak ke arah sebaliknya. Orang kian tertutup, apatis, dan egois. Jurang antara kaya dan miskin semakin lebar. Sekat pergaulan sosial semakin tinggi dan tebal. Kecemburuan dan iri hati berpelukan erat dengan ingat diri.
Pada akhirnya kita akan kembali pada pertanyaan mendasar. Bukan pertama-tama tentang cara, tetapi lebih pada pertanyaan apakah masih ada panggilan dalam diri kita untuk berbagi?
Jangan-jangan perdebatan  soal "tangan kiri dan tangan kanan" serta kecemasan pada keterbukaan justru menjadi alibi kita untuk mengatupkan tangan rapat-rapat!
Saya masih percaya dan senantiasa terbakar oleh kalimat: memberi tidak akan membuat kita kekurangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H