Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan status pandemi pada 11 Maret 2022, virus Covid-19 belum juga enyah dari muka bumi. Malah, entah sadar atau tidak, sengaja atau tidak, kita sudah berkarib dengannya.
Kita hidup berdampingan dengan virus yang terus bermutasi. Bahkan kita sedang menuju pintung gerbang endemi.
Dengan penuh sesal dan sedih, kita mengenang jutaan nyawa yang sudah tiada. Tak terhitung dampak ekonomi, sosial, psikis, dan turunannya yang masih terasa hingga hari ini.
Memang sungguh mahal harga yang sudah kita bayar. Namun, harga tersebut tentu tidak setinggi bila kita tidak bergandeng tangan memutus mata rantai penyebaran.
Seandainya protokol kesehatan tidak terserap dalam kamus kehidupan kita saban hari dan berbagai kebijakan tidak lekas diambil pemerintah dan pihak-pihak terkait, maka sulit dibayangkan dampak yang kini terjadi.
Kita masih bisa bertahan dan tegak berdiri hingga hari ini adalah anugerah tersendiri yang patut disyukuri. Serentak sebuah kenyataan yang membuat kita patut  mengamini bahwa kita bertahan bukan semata-mata karena perjuangan kita sendiri.
Kita bertahan karena ada campur tangan yang lain. Persis dalam situasi kritis seperti ini salah satu butir refleksi filsuf eksistensialis Prancis, Gabriel Honor Marcel menjadi kian relevan. Keberadaaan kita adalah bersama yang lain. Istilah klasiknya adalah esse est co-esse.
Kaidah emas
Demikian salah satu pesan penting dari Prof. Dr. AG. KH. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. Cendekiawan muslim yang pernah menjadi  Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII menekankan hal tersebut dalam salah satu edisi Mata Najwa yang dipandu putrinya sendiri, Najwa Shihab.
Pada acara bertajuk "Setop Stigma Corona" itu pendiri Pusat Studi Al-Qur'an (PSQ) ini mengajak penonton untuk mengedepankan kemanusiaan di atas segalanya.