Memang perayaan sukacita itu sedikit kurang afdol. Lagu Indonesia Raya yang berkumandang di Aarhus tidak dibarengi dengan mengangkasanya Sang Saka Merah Putih. Sebabnya, Indonesia harus menjalani sanksi dari Badan Antidoping Dunia (WADA).
Kemudian ini dilihat sebagai salah satu kekurangan yang mengundang komentar pedas dari berbagai pihak.
Taufik Hidayat, melansir republika.co.id, Senin (18/10/2021) berkomentar begini. "Sangat disayangkan, rasanya seperti makan kurang garam. Biasanya kan Merah Putih dikibarkan bersamaan dengan lagu Indonesia Raya."
"Saya berharap ini bisa cepat selesai. Pemerintah harusnya malu, dulu gembar-gembor ingin jadi tuan rumah Piala Dunia, tuan rumah Olimpiade, tapi ngurus kayak gini saja enggak bisa. Jangan sampai kita kayak Rusia," sambung juara Olimpiade Athena 2004 itu.
Selebrasi kemenangan Tim Thomas Indonesia tanpa kibaran bendera Merah Putih yang digantikan bendera logo PBSI: PBSI/@badminton.ina
Merasa malu. Menganggapnya ironi. Adalah sebagian kata kunci yang mewakili rasa kecewa karena perayaan kegembiraan di panggung besar yang dilirik seluruh dunia itu tak diwakili lambang negara.
Ada hal lain yang cukup menyayat hati. Saya menemukan di sejumlah postingan yang coba mengulik identitas para pemain. Memuji sambal mencari-cari latar belakang untuk dibenturkan dengan realitas lain di Tanah Air.
Mungkin saja maksudnya baik. Tetapi cukup berisiko. Lebih dari itu, tidak pantas. Seharusnya, dari mana mereka berasal, apa keyakinan mereka, dan seperti apa potongan tubuhnya tak perlu lagi dibawa-bawa.
Tidak seharusnya menyinggung hal-hal yang sudah melebur dalam identitas keIndonesiaan yang berbeda-beda tetapi tetap satu. Â Apalagi coba mengaitkannya dengan kenyataan di ranah berbeda secara provokatif. Upaya melakukan distingsi sekaligus dikotomi yang celaka.
Unsur-unsur primordial seperti yang membuat Kisona sakit hati semestinya sudah selesai di negeri ini. Sebagai bagian tak terpisahkan dari kebinekaan yang tak perlu diganggu-gugat.