Akun twitter @jokowi pada 26 Agustus 2021 menulis demikian. “Kabar baik datang dari ajang Paralimpiade Tokyo 2020, siang ini. Atlet angkat berat Ni Nengah Widiasih meraih medali pertama untuk Indonesia, dengan merebut medali perak di kelas 41 kg putri.”
Kicauan dari pemilik akun yang tak lain adalah orang nomor satu di republik ini seakan menyimpulkan sebuah kabar baik dari pesta olahraga kaum difabel yang tengah berlangsung di Tokyo, Jepang.
Mungkin tidak banyak dari antara kita yang mengikuti event olahraga itu seperti saat Olimpiade 2020 berlangsung. Bisa jadi kita hanya mengikuti perkembangan selintas saja dan tidak terlalu berharap bakal meraih medali.
Pencapaian atlet yang karib disapa Widi itu serentak membuka ruang kesadaran kita. Tidak hanya untuk menaruh sedikit perhatian pada perhelatan tersebut. Tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa atlet berkebutuhan khusus dari tanah air bisa berprestasi di panggung dunia.
Widi menempati urutan kedua di kelas 41 kg putri cabang olahraga angkat berat yang berlangsung di Tokyo International Forum. Wanita kelahiran 12 Desember 1992 itu mampu melakukan angkatan terbaik 98 kg.
Total angkatan Widi lebih baik dari Clara Sarahy Fuentes Monasterio. Atlet asal Venezuela itu memiliki angkatan terbaik 97 kg. Widi dan Clara harus mengakui keunggulan Guo Lingling dari Tiongkok dengan angkatan terbaik 108 kg.
Walau gagal meraih emas, pencapaian Widi sungguh patut diapresiasi. Itulah medali pertama bagi kontingen Indonesia. Hasil kali ini melampaui pencapaiannya di event serupa lima tahun lalu di Rio de Janeiro, Brasil.
Saat itu, turun di kelas yang sama, dengan angkatan terbaik 95 kg, Widi harus puas membawa pulang medali perunggu.
Nyaris Perunggu
Tidak mudah, memang, menghadapi persaingan di level dunia. Dalam keterbatasan mereka tetap menunjukkan kegigihan. Tidak pernah terlontar kata menyerah hingga percobaan terakhir.
Begitu pula yang ditunjukkan Widi. Selain harus mengangkat barbel dalam beberapa percobaan, berharap para rival tak sampai melampaui jumlah angkatannya, ia pun harus meyakinkan juri agar setiap angkatan dianggap mulus.
Sebagaimana dilansir Kompas.com dari rilis NPC Indonesia, Widi sempat mengalami sedikit drama yang membuatnya nyaris kebagian medali perunggu. Bermula saat atlet 28 tahun itu berhasil menaklukkan beban 96 kg di angkatan pertama.
Di angkatan kedua, ia berusaha mengangkat beban seberat 98 kg. Namun wasit memberinya bendera merah. Artinya, angkatan tersebut didiskualifikasi. Tidak sah. Gagal.
Situasi ini tentu membuat Widi dan pelatihnya, Yanti, tak puas. Yanti yakin Widi berhasil mengangkat beban itu dengan benar. Tanpa adanya kesalahan. Namun, niat hati mengajukan protes akhirnya bisa diredam.
"Setelah angkatan kedua saya didiskualifikasi, saya dan pelatih sempat ingin mempertanyakan keputusan itu. Namun, kami mengurungkan niat itu," tandas Widi.
Kubu Widi menanti sampai angkatan ketiga. Bila sampai kembali mendapat bendera merah maka langkah protes perlu diambil. Ternyata antisipasi tersebut terbukti.
Kegagalan di angkatan kedua karena dianggap menyalahi aturan tidak membuat Widi berkecil hati. Semangatnya tetap terjaga. Tenaga dan tekadnya pun tetap kukuh. Hal ini ditunjukkan dengan kesuksesannya mengangkat beban 98 kg di angkatan ketiga, sekaligus kesempatan terakhir.
Tak berselang lama, wasit kembali menyatakan angkatan tersebut tak sah. Bila demikian, maka Widi berada di posisi ketiga, di belakang Clara Sarahy Fuentes Monasterio.
Merasa tak ada kesalahan, pelatih langsung mendekati meja wasit. Protes dilancarkan.
"Setelah angkatan ketiga itu, wasit mengangkat bendera merah yang menandakan angkatan saya tidak mulus. Dengan cepat pelatih langsung menghampiri dewan wasit untuk mempertanyakan keputusan wasit itu dan meminta untuk direview atau diputar ulang tayangan angkatan saya untuk melihat apa kesalahan saya,” sambung Widi.
Wasit juga manusia. Terbukti dari tayangan ulang, Widi sukses mengangkat beban tanpa menyalahi aturan. Tangannya tidak miring sebagaimana penilaian dewan wasit sebelumnya.
Dengan menganulir keputusan sebelumnya, angkatan terbaik Widi berada pada 98 kg. Sementara itu di angkatan ketiga, Fuentes gagal mengangkat beban 99 kg.
Artinya, posisi atlet asal Karangasem, Bali ini naik ke urutan kedua dengan angkatan terbaik satu kg lebih berat dari pesaing terdekat asal Amerika Selatan itu. Medali perak menjadi milik Widi. Merah Putih pun ikut mengangkasa.
"Bangga dan senang sekali karena sesuai target pribadi, meski harus mengakui Cina kuat sekali," ungkap Widi.
Perunggu Saptoyoga
Ni Nengah sudah meraih berbagai medali mulai dari perunggu World Championship 2014 di Dubai, perak Asian Para Games Incheon di tahun yang sama, hingga perak Asian Para Games Jakarta 2018.
Ia berharap pencapaian ini menyemangatinya untuk menghadapi berbagai event yang akan datang. Baik itu ASEAN Para Games maupun Asian Para Games.
Selain itu, medali pertama yang ia dapat, semoga bisa menjadi katalis, ikut membakar semangat para atlet lainnya untuk meraih medali. Indonesia menargetkan satu medali emas dari 23 atlet yang dikirim ke Tokyo kali ini.
Peluang medali lainnya datang dari Sapto Yoga Purnomo. Peraih medali emas Asian Para Games 2018 itu melaju ke final atletik 100 meter T37 putra. Sebelum itu ia menjadi yang tercepat di heat 1 pada Jumat, (28/8/2021).
Parasprinter Indonesia ini mencatatkan waktu 11.33 detik, mengungguli Vladyslav Zahrebelnyi (Ukraina), Mateus Evangelista Cardoso (Brasil), Gabriel Christian Luiz da Costa (Brasil), Andrei Vdovin (Rusia), dan Brian Lionel Impellizzeri (Argentina).
"Terima kasih untuk masyarakat Indonesia atas dukungannya. Semoga medali saya ini bisa menjadi motivasi teman-teman lainnya yang akan bertanding. Semoga Merah Putih berkibar sebanyak-banyaknya di Tokyo," ungkap Widi.
Harapan Widi dan tentu juga rakyat Indonesia, perlahan-lahan mulai terkabul. Tak sampai dua hari setelah Widi, giliran Sapto Yoga Purnomo.
Bertanding di Stadion Olympic Tokyo, Saptoyogo Purnomo finis di posisi ketiga. Dengan catatan waktu 11,31 detik, Sapto Yogo hanya kalah cepat dari Nick Mayhugh asal Amerika Serikat (10,95) detik dan Andrei Vdovin dari Rusia (11,18) detik.
Sapto yang menjadi paralimpian tercepat di Asia saat ini tetap puas dengan hasil tersebut. Walau gagal meraih medali emas, catatan waktu tersebut memecahkan rekor Asia.
Bagi Indonesia, pencapaian Saptoyogo tidak hanya memberi medali kedua bagi kontingen Merah-Putih. Tetapi juga, menjadi medali pertama dari cabang paraatletik sepanjang 12 edisi keikutsertaan Indonesia di Paralimpiade.
"Medali perunggu ini merupakan sebuah kejutan di ajang Paralimpiade 2020. Awalanya saya hanya ditargetnya untuk pecah rekor pribadi, tetapi bersyukur bisa dapat medali perunggu.” Demikian Saptoyogo dilansir dari antaranews.com.
Seperti kepada Widi, Jokowi pun mengabarkan kabar gembira itu di jagad maya. Warta itu patut kita sambut dengan sukacita dan syukur.
Terima kasih Ni Nengah dan Saptoyogo!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H