We have songs to sing/
We have so many stories/
To share with you/
Flores my singing island/
Flores my dancing island/
Tahukah Anda Indonesia memiliki tempat bernama Flores? Sudahkan Anda bertandang ke sana? Apakah Anda memiliki kenalan yang mengaku berdarah Flores?
Entah berapa banyak orang Indonesia yang mengenal Flores. Namun tidak semua orang di negeri ini mengetahui Flores, sekurang-kurangnya di mana letaknya. Jangankan Flores, NTT, provinsi yang menaunginya secara administratif pun terkadang salah dipahami.
"NTT itu di Ambon ya?"
"Orang Flores itu sama dengan orang Papua kan?"
"Flores bukannya di Portugal?"
"Kalian dari Flores, kalian orang timur ya?"
Tidak ada kewajiban setiap orang di nusantara ini untuk mengenal Flores. Demikian juga sebaliknya. Walau terkadang nama-nama wilayah tertentu begitu mendominasi buku pelajaran yang diwajibkan untuk dihafal setiap anak di negeri ini. Tidak adil sih.
Sulit memang menghafal nama 16 ribu lebih pulau berikut puluhan ribu nama tempat di Indonesia. Siapa mau peduli dengan kerja yang tak mudah itu. Maka cukuplah diwakili pulau-pulau besar kalau begitu.
Tapi bagi jutaan orang tertentu, Flores sungguh berarti. Tempat dari mana mereka berasal. Tempat di mana mereka lahir dan tumbuh. Tempat yang selalu mereka rindukan walau sejauh apa pun mereka berkelana.
Ya, Flores yang bukan di Ambon. Orang-orangnya tak sama dengan orang Papua. Yang tidak hanya ada di Portugal sana. Yang bukan di timur karena Flores dalam zona waktu berada dalam kumpulan Wilayah Indonesia Tengah (WITA). Â
Flores yang memiliki Indonesia atau Indonesia yang memiliki Flores? Entahlah. Yang pasti Flores, seperti yang 16 ribu-an itu bukan kumpulan terbuang. Flores adalah bagian sah dari NKRI. Orang Flores adalah 100 persen orang Indonesia.
Jejak Portugis
Tanpa harus menunggu, apalagi memaksa orang lain mengenal, orang Floreslah pertama-tama harus memperkenalkannya. Banyak cara untuk itu. Baik orang per orang. Maupun dalam sebuah gerakan bersama. Baik secara tak sengaja, maupun disengaja.
"Flores The Singing Island virtual festival" adalah bagian dari kerja sekelompok musisi kelahiran Flores dan yang peduli dengan Flores untuk memperkenalkan Flores. Festival online ini dilaksanakan persis di hari ulang tahun kemerdekaan republik ini. Pada 17 Agustus. Dengan maksud dan tujuan yang jelas, tentu saja. Tidak sekadar menyemarakan hari jadi republik ini.
Pertama, promosi Flores, baik permulaan maupun lebih jauh. Bagi yang belum mengenal Flores baiknya saya berikan beberapa informasi kunci.
Flores adalah sebuah pulau di wilayah NTT. Nama Flores berasal dari Bahasa Portugis, cabo de flores. Artinya, "tanjung bunga." Ada yang menyebutnya Pulau Bunga. Portugis memiliki jejak peninggalan yang masih kuat di sana. Agama berikut segala anasir yang menyertainya (tempat ibadah, ritus, dsb) adalah salah satunya.
Nama Flores mulai diperkenalkan oleh S.M Cabot, lantas dipertegas oleh Hendrik Brouwer, Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Kemudian dipakai hingga hari ini.
Dari udara, pulau tersebut terlihat seperti ular. Piet Petu alias Sareng Orin Bao (1969) menyebut nama asli Flores adalah Nusa Nipa alias Pulau Ular. Tidak hanya sekadar menggambarkan geografinya, nama itu mengandung banyak makna.
Dengan luas wilayah sekitar 14.300 km2, Flores kini terbagi dalam delapan kabupaten. Mulai dari Kabupaten Manggarai Barat beribukota Labuan Bajo di ujung barat, hingga Flores Timur dengan Larantuka sebagai ibu kota di pojok timur. Di antaranya ada Kabupaten Manggarai (beribu kota Ruteng), Manggarai Timur (ibu kota Borong), Kabupaten Ngada (beribu kota Bajawa), Nagekeo (ibu kota Mbay), Ende (ibu kota Ende), dan Sikka (ibu kota Maumere).
Ada lagi pulau Lembata dengan Kabupaten Lembata dengan ibu kota Lewoleba yang bertetangga dengan Flores. Bersama pulau Sumba, Timor, dan Alor membentuk akronim Flobamorata, gugusan kepulauan di NTT.
Kedua, seperti administrasi yang beragam, begitu juga bahasa, budaya, dan kesenian, sebagaimana suku yang bervariasi.
Mungkin selama ini dunia lebih mengenal Flores dari kekayaan alamnya, dari sejumlah kecil obyek wisata.
Flores sebagai gerbang masuk (saja) menuju Pulau Komodo, satu dari sedikit destinasi wisata superprioritas di tanah air. Keberadaan danau triwarna, Kelimutu di Kabupaten Ende. Kampung adat Bena di Ngada. Ritual prosesi Semana Santa di Larantuka. Dan beberapa lainnya.
The Singing Island
Festival "Flores The Singing Island" memperkenalkan kekayaan lain dari Nusa Bunga. Di Flores ada beragam suku yang ditandai oleh keragaman adat istiadat dan bahasa. Darinya mengemuka berbagai kesenian, baik musik maupun tarian.
Ada tarian perang sekaligus permainan rakyat khas Manggarai. Namanya tarian Caci. Adu cambuk dan ketangkasan memerisai diri.
Ada juga tarian Gawi, Sodh'a, Rokatenda, dan Ja'i. Selain itu ada banyak lagu dengan irama dan syair khas masing-masing daerah, serta memiliki pesan yang mendalam.
Melalui festival ini diperkenalkan sedikit dari beragam kekayaan kultural itu. Para seniman dari Manggarai membawakan lagu "Wela Rana". Lagu ini bercerita tentang ajakan untuk mencintai alam.
Grup vokal akapela Jamaica Caf yang bermarkas di Jakarta membawakan sejumlah lagu yang sudah cukup populer seperti "Gemufamire" dan "Mogi Dheo Keze Walo." Lagu yang disebutkan pertama karya musisi asal Sikka, Nyong Franco sudah mendunia.
Tidak salah bila Flores disebut pulau (yang) bernyanyi dan pulau (yang) menari. Dari sana muncul banyak pemusik dan seniman. Keseharian masyarakatnya pun tak bisa lepas dari musik dan tari. Orang Flores seperti berbicara sambil bernyanyi. Mereka pun seakan-akan bergoyang sambil berjalan.
Istilah "Flores the Singing Island" sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba. Ivan Nestroman, sosok penting di balik festival ini, menyebut istilah itu pertama kali keluar dari etnomusikolog asal Belanda, Jaap Kuns.
Jaap pernah mampir di Flores pada tahun 1930. Ia mendapati kekayaan alat musik hingga ragam nyanyian dengan irama yang khas seperti dolo-dolo, bladu bladat, gawi, ja'i, mbata, ndundundake, dan lain-lain. Sebelum kembali, Jaap tak alpa mengabadikan kekayaan musik di sana.
Hingga hari ini kita masih bisa menikmati suguhan itu dalam beragam kreasi dan improvisasi. Festival ini sebenarnya adalah juga kerja mempertahankan kekayaan budaya itu agar tak sampai tergerus dan dilupakan.
Ivan menciptakan lagu utama untuk festival ini, dengan judul mengikuti sebutan Jaap itu. Seluruh syair berbahasa Inggris, bahasa yang juga dikenal masyarakat Flores. Bahasa ini bisa menjadi jalan menduniakan Flores dengan lebih cepat. Salah satu bagiannya berbunyi demikian:
I'm here in happy island/
Where we sing while we talk/
A place we love to call our home/
Where we dance while we walk/
Musik pemersatu
Ketiga, festival ini melibatkan lebih dari 100 pemusik dari delapan kabupaten. Beberapa dari antaranya masih setia mengembangkan kerja kreatif dari daerah. Beberapa lainnya memilih jalur diaspora. Sejumlah nama sudah pernah mengharumkan Flores di sejumlah ajang pencarian bakat. Beberapa lagi lagu-lagu mereka menghiasi blantika musik tanah air.
Berkumpulnya para musisi itu menghadirkan satu panorama keberagaman dalam persatuan. Flores, walau berbeda-beda suku, bahasa dan adat-istiadat, sejatinya tetap satu. Satu dalam perbedaan. Perbedaan yang memperkaya, bukan memisahkan.
Keempat, patut disebut Ivan Nestroman di balik acara keren ini. Musisi neotradisi ini adalah penggagas. Ivan yang nyentrik itu terbilang sukses mengakomodasi kekayaan musikal Flores untuk diperkenalkan secara luas.
Selain itu, melalui acara ini, kerja sama dalam lingkup lebih luas pun tercipta. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLF), para kepala daerah, duta besar, hingga warga NTT di mancanegara juga ikut terlibat.
Ribuan masyarakat yang menyaksikan pun tak bisa tidak terbawa suasana. Mereka menyanyi dan ikut bergoyang mengikuti tayangan di layar kaca.
Orang Flores yang mengikuti acara hari ini bernostalgia dengan syair, nada, tempat dan orang-orang yang masih setia mendiami pulau itu.Â
Kepada yang berasal dari luar Flores khususnya dan NTT umumnya, festival ini seperti panggilan untuk ikut menikmati. Harapannya bisa lebih mengenal dan suatu saat bisa bertandang ke sana. Untuk menikmati kekayaan itu dari dekat.
You can hear our ancient songs/
(When) they play with drums and gongs/
Under mangoe tree they sit down/
Coffe and wine get together/
Get yourself lost in my island/
Feel the rhythm of this song/
Bila agama dan ideologi kerap membuat kita terbelah, musik bisa menjadi pemersatu. Dengan bernyanyi dan menari, segala perbedaan itu melebur. Kita larut dalam nada yang sama. Hanyut dalam irama yang satu.
Hati pun riang. Segala beban berat terangkat seketika. Kita semua menyatu sebagai makhluk yang bernyanyi dan insan yang menari, di masa "pageblug" Covid-19 yang sebenarnya berat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H