Kevin Haroldo Cordón Buezo, walau sudah berusia 34 tahun dan lebih dari satu dekade bertandang dari gelanggang ke gelanggang, tetap kalah populer dibanding para pebulutangkis dari Asia dan Eropa.
Tak banyak yang peduli kalau dari Amerika Latin akan bisa berprestasi di cabang tepok bulu, ketimbang sepak bola, voli, atau cabang olahraga berkelompok lainnya. Tak banyak pula yang menyangka bakal terjadi gebrakan dari sebuah negara kecil di Amerika Tengah di panggung akbar Olimpiade Tokyo.
Upaya untuk menjawab berbagai pertanyaan dan pesimisme itulah yang kini tengah diperjuangkan pemain yang kini ramai dikenal sebagai Kevin Cordon. Datang dari Guatemala, negara mungil yang dikepung Samudra Pasifik, Laut Karibia, Meksiko, Honduras dan El Salvador, ia ingin membuktikan bahwa Guatemala bisa mengguncang panggung bulutangkis dunia.
Cordon ingin menunjukkan bahwa Guatemala tidak hanya dikenal sebagai produsen kopi terbesar di dunia. Guatemala dengan luas daratan tak lebih besar dari salah satu provinsi di Kalimantan itu bisa membuat negara-negara dengan luas wilayah jauh lebih besar dan telah dikenal luas sebagai raksasa bulu tangkis ketar-ketir.
Langkah Cordon di Olimpiade Tokyo sudah memasuki babak semi final. Sebuah pencapaian yang luar biasa bagi Guatemala yang datang ke Tokyo dengan kekuatan 22 atlet.
Cordon kini mengincar sejarah baru sebagai olimpian dari negara republik di wilayah Karibia itu yang mampu meraih medali setelah Erick Barrondo yang menyumbang medali perak Olimpiade London 2012 silam.
Sejak ikut serta pertama kali di Olimpiade 1952, Guatemala lebih banyak menjadi penghibur. Kini setelah Erick Barrondo, Cordon ingin memberi tahu kepada dunia bahwa perjuangan 14 kali keikusertaan Guatemala di pentas Olimpiade akan berbuah medali dari cabang bulutangkis.
Mimpi dari kota kecil
Perjuangan Cordon hingga babak empat besar tidaklah mudah. Berstatus nonunggulan, ayunan raket Cordon mampu melibas setiap kontestan di Grup C. Kemenangan atas wakil Meksiko, Lino Munoz dan pemain yang jauh lebih diunggulkan Ng Ka Long Angus asal Hong Kong memberinya status juara grup.
Lolos ke babak 16 besar sudah menjadi prestasi bagi Cordon. Ini catatan terbaik di kesempatan keempatnya tampil di Olimpiade.
Langkah Cordon tak berhenti di situ. Ia mampu menyingkirkan pemain Belanda, Mark Caljouw untuk meraih tiket perempat final. Cordon yang menempati urutan 59 dunia bisa mengalahkan Caljou dengan peringkat dunia jauh lebih baik. Namun kepada pemain ranking 29 dunia itu, Cordon seakan berpesan bahwa peringkat tak menjamin kemenangan.
Melalui perjuangan heroik pantas bila ia menunjukkan selebrasi emosional usai mengunci kemenangan rubber game untuk menempatkannya sebagai salah satu semifinalis.
“Nah, ini kita lagi. Bahagia lagi. Ketika saya lolos ke Olimpiade untuk pertama kalinya, itu adalah mimpi untuk bermain, memenangkan satu pertandingan. Setelah itu saya masih bermimpi untuk terus memenangkan lebih banyak pertandingan. Dan sekarang saya senang saya telah memenangkan tiga pertandingan. Saya tidak bisa mempercayainya sekarang,” ungkap Cordon melansir situs resmi BWF.
Sebelumya bermain di arena Olimpiade dengan penampilan yang baik hanya menjadi impian. Beralih dari penonton yang menikmatinya melalui layar menjadi pemain yang menampilkan tontonan yang menghibur kepada jutaan penonton jelas sebuah kebanggaan tersendiri.
Cordon sadar jalannya mencapai prestasi di Olimpiade tidak mudah. Ia harus meninggalkan kota kelahiran La Union menuju pusat kota untuk mewujudkan impiannya. Saat itu usianya baru 13 tahun.
Perjuangan panjang disertai pengorbanan tak sedikit untuk berpindah dari tempat ke tempat, dari turnamen ke turnamen, tak juga membuatnya berkata cukup walau sudah berusia lebih dari kepala tiga.
Banyak hal sudah dikorbankan. Guatemala bukan negara kaya. Berstatus negara berkembang, Guatemala masih disarati berbagai persoalan sosial-ekonomi. Negara dengan PDB per kapita 5 ribu USD itu masih menghuni daftar 10 negara termiskin di Amerika Latin.
“Tidak mudah bagi kami, karena tidak mudah mendapatkan uang untuk bepergian. Saya tahu ada hal-hal yang lebih penting di Guatemala, seperti orang miskin perlu makan. Ini tidak seperti permainan adalah segalanya,” kenang Cordon.
Kerja keras yang telah ditunjukkan membuatnya menjadi orang Guatemala dari sebuah kota kecil yang lebih berarti. Bulutangkis kemudian mengubah hidupnya.
Tidak hanya itu. “Apa yang saya lakukan di bulu tangkis juga membantu keluarga saya, dengan uang yang saya dapatkan dari federasi saya. Ini membantu mendukung mereka.”
Muamar Qadafi
Cordon menyadari berbagai kesulitan yang harus diatasi untuk sampai berkibar di Tokyo. Untuk berlatih ia mengandalkan bantuan dari teman-temannya. Tidak hanya itu, ia juga ditopang oleh sejumlah pelatih.
Salah satu sosok penting di balik Cordon adalah Muamar Qadafi. Pelatih ini berasal dari Solo. Di akun Twitter resmi bulutangkis Guatemala, nama dan wajahnya kerap ditampilkan mengiringi perjuangan Cordon.
Di situs resmi Olimpiade, ada nama Jose Maria Solis sebagai pelatih. Jose Maria yang asli Guatemala dikabarkan telah menangani Cordon sejak 2004 silam. Sejak 2017, Jose Maria Solis dibantu Qadafi. Keduanya bekerja sama untuk melatih Cordon dan Nikte Sotomayor, pemain tunggal putri yang ikut ambil bagian di Tokyo kali ini.
Peran Jose Maria dan Qadafi itu tentu penting untuk membuat Cordon tidak sendirian di panggung besar itu. Kehadiran para pelatih itu memberinya semangat dan motivasi untuk menghadapi para raksasa.
Di babak perempat final, Cordon harus beradu dengan Heo Kwang Hee. Pemain Korea ini membuat kejutan dengan menggulung andalan tuan rumah sekaligus favorit juara, Kento Momota.
Tentu tantangan Cordon semakin berlipat ganda melihat rekam jejak Heo yang menggemparkan itu. Namun sekali lagi, Cordon membuktikan bahwa sejarah masa lalu sudah menjadi hari kemarin. Hari ini memiliki cerita tersendiri yang bisa digurat oleh siapa saja.
Bermain di Musashino Forest Sport Plaza, Sabtu (31/72021) pagi, Cordon bermain begitu percaya diri. Berada lebih dari 10 strip di belakang rangking dunia Heo tak menciutkan nyalinya. Ia justru mampu membuat pemain berperingkat 37 dunia itu kerepotan.
Tidak tanggung-tanggung, Cordon melibas Heo dua gim saja, 21-13, 21-18. Tampil penuh percaya diri dan lepas dari berbagai beban membuatnya bisa mengendalikan diri dan mendikte lawan. Ia kini benar-benar dianggap sebagai kuda hitam yang patut diperhitungkan.
“Saya masih senang, masih tersenyum. Yah, aku masih anak-anak, bermain seperti anak kecil, bersenang-senang. Mencoba melakukan yang terbaik. Bisakah Anda percaya bahwa saya berada di semifinal sekarang? Sungguh luar biasa," ungkap Cordon usai laga dengan senyum tersungging lebar.
Ia tahu perjuangan panjang selama bertahun-tahun sebagai pemain professional pantas untuk dirayakan. Setelah mengunci kemenangan atas Heo, Cordon tak kuasa melampiaskan kegembiraannya dengan berteriak kencang.
“Ketika Anda berlatih dengan hati, dengan kesabaran, semua hal baik ini akan datang ke dalam hidup Anda.”
Menghadapi raksasa
Sudah berada di semi final membuat Cordon semakin dekat dengan medali. Medali pertama bagi sejarah bulu tangkis negara bekas koloni Spanyol itu. Juga, medali pertama bagi Amerika Selatan di cabang yang menempatkan mereka sebagai underdog.
Agar bisa bersaing meraih medali emas, Cordon harus melewati hadangan Viktor Axelsen. Di hadapan pemain Denmark itu, Cordon tentu bukan siapa-siapa. Walau Axelsen lebih mudah secara usia, prestasinya bak langit dan bumi dibanding Cordon.
Axelsen yang menang mudah atas Shi Yu Qi di perempat final tentu lebih percaya diri untuk menatap medali emas bagi negaranya. Kemenangan atas Shi asal China yang sebelumnya membuat Jonatan Christie tak berdaya mengirim isyarat bagi Cordon.
Bagaimana Cordon menghadapi Axelsen? Apa strategi yang akan diterapkan? Adakah sesuatu yang membuatnya percaya diri dan yakin untuk menghadapi sang raksasa?
Cordon percaya diri menyebut dirinya memiliki smes yang keras. Walau lengannya ramping, kekuatan itu bisa menjadi andalannya.
Ia tentu berada dalam posisi lepas bebas. Ia akan bermain tanpa beban. Sama seperti yang ia lakukan selama ini di hadapan para pemain hebat yang hanya bisa ia saksikan di layar kaca.
“Bagi kami, sangat sulit untuk bermain dengan semua pemain tingkat atas yang Anda tonton hanya di TV atau internet. Aku hanya tidak bisa mempercayainya.”
Selamat berjuang Cordon! Buena suerte!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H