Saat semua orang memiliki kesempatan untuk mendapatkan dan berbagi konten, persoalan akurasi dan akuntabilitas misalnya, menyeruak. Apakah dengan demikian setiap kerja netizen jauh dari kebenaran dan semua karya jurnalistik sungguh bisa dipertanggungjawabkan?
Paus mengatakan setiap orang bisa menjadi saksi dan ikut berbagi kebenaran. Namun sosial media menghadirkan kerentanan. Salah satunya manipulasi dan narsisme. Untuk kepentingan tertentu konten-konten bisa direkayasa. Sosial media gampang menjadi panggung pertunjukan kepentingan tertentu.
Betapa maraknya berita bohong, konten hoaks, produk clickbait dan measliding, menjadi bukti. Internet menjadi panggung yang seksi untuk mengumbar kepalsuan, rekayasa, dan penggiringan demi pemenuhan hasrat segelintir orang.
Untuk itu Paus mengajak kita untuk kritis dan bertanggung jawab. Setiap konten yang diterima harus diverifikasi dan difalsifikasi. Kita tak boleh menelan setiap informasi yang masih diragukan kebenarannya secara bulat-bulat.Â
Begitu juga sebaliknya saat memproduksi konten. Kita perlu bertindak di atas rasa kepedulian dan tanggung jawab pada nilai-nilai luhur dan universal: keadilan, kebenaran, dan kedamaian.
"Kita semua harus bertanggung jawab atas komunikasi yang kita buat, atas informasi yang dibagikan, atas kendali yang dapat digunakan atas berita palsu dengan membukanya. Kita semua harus menjadi saksi kebenaran: pergi, melihat, dan berbagi."
Saksi kebenaran
Keempat, Paus berkeyakinan dalam komunikasi tidak ada yang bisa sepenuhnya menggantikan pengalaman langsung. Ada sejumlah hal yang hanya bisa dipelajari melalui perjumpaan nyata. Tidak hanya tentang kata-kata yang diucap tanpa perantara, tetapi tatapan mata, hingga nada suara dan gerak tubuh yang bisa dialami secara dekat.
Hanya melalui pengalaman langsung kita bisa mendapatkan sesuatu yang tidak bisa diperoleh melalui teknologi  atau perantara. Saat melihat langsung rasa dan sensasinya tentu berbeda dengan mendapatkannya dari pihak lain. Saat membagikan sesuatu dari pengalaman langsung akan menghadirkan kepuasan tersendiri.
"Datang dan lihatlah" adalah ajakan untuk menjadi lebih personal, dialogal dan faktual. Turun ke lokasi, menjumpai setiap kenyataan apa adanya, melihat dengan mata kepala sendiri, agar bisa mengetahui yang sesungguhnya.
Sering kali kita berhamba pada teknologi yang membuat kita mudah kehilangan empati dan solidaritas. Kita mudah jatuh pada provokasi, agitasi, retorika sarat omong-kosong, dan basa-basi. Realitas "apa adanya" kemudian diplintir sebagai sesuatu yang "ada apanya."
Untuk itu, ajakan  "datang dan lihat" akan selalu penting. Agar seruan itu lebih berdaya maka setelah "datang dan lihat" kita pun perlu "berbagi" di atas satu landasan: menjadi saksi kebenaran.