Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memberi salah satu contoh bagaimana menjaga tali silaturahmi di tengah pandemi. Saat hari Lebaran, kedua pemimpin itu memilih tidak bersilaturahmi secara fisik.
Sebenarnya, bisa saja mereka membuat janji bertemu, misalnya di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, tempat Jokowi menghabiskan waktunya saat ini.
Namun mereka memilih untuk tetap berada di kediaman masing-masing. Sebagai gantinya, mereka memilih melakukannya secara virtual.
Jokowi dan Ibu Iriana bergantian mengucapkan selamat hari raya dan meminta maaf pada Ma'ruf Amin dan Iby Wury, begitu juga sebaliknya, melalui panggilan video.
Wajah dan ekpresi setiap pasangan tetap terlihat jelas melalui telepon pintar. Maksud hati pun bisa tertunaikan melalui teknologi.Â
Tidak hanya saling memberi salam dan mengucap maaf, mereka pun bisa berkomunikasi secara hangat untuk bertanya kabar. Jokowi malah masih sempat curhat bahwa Idul Fitri kali ini, ia dan Iriana tidak ditemani putra dan putrinya. Â
Apakah kadar silaturahmi akan berkurang saat melakukannya dalam jaringan (daring)? Apakah kurang afdol bila tidak dilakukan di luar jaringan (luring)?
Saat pandemi masih menjadi ancaman bersama, pilihan silaturahmi virtual tentu paling realistis. Virus Covid-19 yang masih bergentayangan mencari mangsa hanya bisa diatasi di antaranya dengan membatasi mobilitas fisik, satu dari sejumlah protokol kesehatan yang penting.
Pergerakan fisik dan kontak langsung harus ditekan seminimal mungkin. Tujuannya, agar transmisi virus pun ikut terhambat. Bila tidak maka situasi akan terjadi sebaliknya. Jangankan mengharapkan pandemi berakhir, lonjakan kasus malah semakin menjadi-jadi.
Pelajaran dari India
India menjadi contoh terdekat bagaimana pandemi telah menciptakan bencana kemanusiaan dahsyat. Mengacu data Worldmeters, Kamis (13/5/2021) siang, total infeksi Covid-19 yang terkonfirmasi mencapai lebih dari 23,7 juta. Pada Rabu (12/5), Kementerian Kesehatan India melaporkan 348.421 kasus baru.
Tsunami pandemi di India membuat pemerintah dan masyarakat setempat kelimpungan. Rumah sakit cepat terisi penuh. Keterbatasan fasilitas kesehatan seperti pasokan oksigen mengemuka. Pihak krematorium kewalahan. Pembakaran darurat pun harus dibuat sementara ketersediaan kayu pembakaran kian menipis. Sungai Gangga pun dipenuhi mayat (cnbcindonesia.com, 14/5/2021).
Ironisnya, sebagai salah satu produsen vaksin terbesar, India justru kehabisan stok. Lonjakan permintaan membuat produsen lokal kewalahan. Sebelumnya negara itu baru melakukan vaksinasi pada 38,2 juta orang. Angka tersebut baru 2,8 persen dari total populasi negara terbesar di Asia Selatan itu dengan penduduk mencapai 1,35 miliar penduduk.
Pemerintah setempat rela merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli vaksin. Tidak hanya mengandalkan produk dalam negeri, India juga menjajaki kemungkinan membeli vaksin Pfizer dan Sputnik Rusia. Selanjutnya, Perdana Menteri India, Narendra Modi sontak mengumumkan vaksinasi terbuka untuk seluruh orang dewasa pada 1 Mei lalu.
Bencana yang tengah terjadi di India tentu mencemaskan dunia. Tidak hanya merasa ikut prihatin sebagai warga dunia, tetapi juga cemas jangan sampai situasi tersebut meluas. Angka kematian yang terjadi di India, menurut para ahli, bisa membengkak 5-10 kali lebih tinggi dari yang dilaporkan.
Munculnya varian baru berjenis B.1.617 dianggap sebagai salah satu sebab. Karakteristiknya yang lebih agresif: menyebar lebih cepat dan lebih resisten terhadap sejumlah pengobatan dan antibodi Covid-19 membuat dunia semakin khawatir.
Bila India sudah sedemikian kewalahan, apakah Indonesia hanya sebatas bersimpati? Tentu tidak. Tidak boleh bila kasus di India hanya berakhir dengan simpati. Kita pun harus belajar dari Negeri Anak Benua itu. Perlu bersiap sambil membentengi diri, tidak hanya dari peluang munculnya varian baru yang lebih berbahaya, tetapi juga memutus mata rantai penyebaran saat ini.
Hingga Jumat (14/5/2021), penambahan kasus baru masih terus terjadi. Dalam 24 jam terakhir, ada 2.633 kasus positif Covid-19. Sebanyak 107 pasien pun harus kehilangan nyawa.
Sejak pertama kali muncul di tanah air pada Maret 2020, mengacu data Satgas Penanganan COVID-19, total kasus mencapai 1.734.285. Sebagian besar, 1.592.886 pasien berhasil sembuh. Namun kasus baru yang belum melandai, ditambah 47.823 orang meninggal adalah alarm tanda bahaya yang sudah seharusnya menyadarkan kita.
Menuntut kesadaran
Salah satu kesadaran yang dituntut saat ini adalah kepatuhan pada protokol kesehatan. Tidak hanya rajin mencuci tangan dan memakai masker, tetapi juga menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan, dan membatasi mobilisasi dan interaksi fisik.
Untuk alasan itulah maka kebijakan pemerintah melarang mudik Lebaran tahun ini sungguh tepat. Bisa dibayangkan bila tidak ada larangan pulang kampung. Orang-orang pasti akan tetap melakukan pergerakan antarkota, antarprovinsi, bahkan antarnegara. Selama mudik itu tentu sulit memastikan setiap orang akan dengan tekun mematuhi protokol kesehatan. Justru mudik menegasi ketentuan itu.
Memang sungguh disayangkan masih banyak orang tetap memaksakan diri pulang kampung. Ribuan pemudik berkendaraan roda dua misalnya, masih nekat menembus pos penyekatan yang sengaja diciptakan pemerintah.
Sambil berharap tidak ada lonjakan kasus baru selama mudik dan lebaran tahun ini, sejatinya silaturahmi di saat pandemi ini bisa disiasati dengan cara lain yang lebih aman.
Ucapan maaf dan memohon ampun bisa dilakukan melalui sambungan telepon atau panggilan video. Begitu juga sungkeman tetap bisa dilakukan walau berjauhan. Teknologi yang sudah semakin maju mestinya bisa kita manfaatkan maksimal, termasuk di saat-saat seperti ini.
Kemajuan teknologi sudah menghadirkan solusi agar seseorang tetap bisa berinteraksi di tengah pandemi. Walau jarak fisik terjadi, namun tali silaturahmi bisa tetap terhubung.
Apalagi setiap perkembangan teknologi dan komunikasi itu bisa disambut dengan cepat oleh masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari data yang selalu diperbaharui oleh layanan manajemen konten HootSuite, dan agensi pemasaran Inggris, We Are Social. Dalam laporan terbaru, "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" dirilis 11 Februari 2021, menghadirkan sejumlah fakta menarik.
Mayoritas penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan internet. Bahkan kenaikan justru terjadi juga di masa pandemi. Pengguna internet di tanah air mencapai 202,6 juta (73,7 persen) dari total populasi sebanyak 274,9 juta jiwa. Setahun terakhir terjadi peningkatan sebesar 15,5 persen dengan 27 juta pengguna baru.
Lebih menarik lagi bila mengetahui betapa akses internet nyaris seluruhnya menggunakan telepon pintar. Sebanyak 96,4 persen pengguna mengakses internet melalui smarthphone. Bahkan dari angka 345,3 juta telepon pintar yang terkoneksi, bisa dipastikan satu orang bisa memiliki lebih dari satu telepon genggam.
Sebagian besar pengguna dengan lebih dari satu perangkat elektronik berusia 16 hingga 64 tahun. Durasi mengakses internet per hari rata-rata 8 jam dan 52 menit.
Dengan demikian bisa dikatakan, mayoritas penduduk Indonesia sudah tak lagi awam dengan internet dan telepon pintar. Akses internet dan ketersediaan perangkat elektronik untuk berkomunikasi ini membuat berbagai aktivitas komunikasi bisa dilakukan dengan mudah.
Sama seperti kehidupan normal baru yang sudah akrab dengan pembelajaran jarak jauh, meeting online, berbelanja atau berjualan melalui platform e-Commerce, maka mestinya juga tak lagi asing bila atas cara yang sama kita bersilaturahmi. Â Saat ini tidak hanya tersedia satu pilihan perangkat. Hadir aneka platform sosial media dan perangkat komunikasi video mulai dari zoom, Webex, Gooogle Meet dan sebagainya.
Memang patut diakui komunikasi virtual tidak menyelesaikan segalanya. Tidak semua orang, apalagi sanak saudara di kampung, sudah sedemikian akrab dengan perangkat elektronik. Belum semua daerah mendapatkan akses internet yang lancar.
Selain itu, komunikasi virtual tetap tidak sepenuhnya bisa menggantikan interaksi fisik. Perjumpaan secara langsung memiliki sisi kehangatan yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.
Sungkem langsung di kaki orang tua saat Lebaran terasa berbeda bila harus digantikan oleh adegan serupa jarak jauh. Mencium tangan orang tua atau yang dituakan memiliki sentuhan afeksi tersendiri yang tak bisa didapat secara virtual.
Namun kita semua berada dalam kecemasan yang sama akan musuh bersama: Covid-19. Kita tengah diintai marabahaya bila sampai nekat mudik apalagi melakukan kontak fisik.
Untuk itu dalam situasi khusus seperti ini sekiranya silaturahmi virtual dimaklumi. Perjumpaan online, konferensi video, hingga berkirim pesan singkat, tetap bisa menjadi pilihan bertukar kabar dan bersilaturahmi dengan tanpa harus kehilangan kehangatan dan ketulusan. Â
Teknologi hanyalah alat. Â Demikian juga berjabat tangan, sujud, hingga berpelukan hanyalah tanda. Alat dan tanda itu menuntut pemaknaan agar menjadi berarti. Semuanya akan kehilangan makna bila dibalut basa-basi, apalagi hipokrisi. Dengan demikian, jangan terlalu bergantung pada perjumpaan fisik bila perjumpaan yang terjadi hanya sekadar formalitas.
Bila harus jujur, tidak ada yang tidak ingin mudik atau berjumpa secara fisik. Sudah menjadi kodrat kita sebagai makhluk sosial untuk berinteraksi, terutama secara langsung.Â
Namun, normal baru yang sudah mulai kita hidupi sejak awal pandemi, hingga entah sampai kapan, sekiranya menyadarkan kita bahwa yang terpenting adalah kita bisa tetap terhubung satu sama lain, walau dalam jaringan. Seperti di luar jaringan, silaturahmi dalam jaringan pun bukan sesuatu yang tabu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H