Ya, Belanda memang pernah menorehkan sejarah tersendiri di tempat itu. Saat terbentuk Onder Afdeling Ngada pada 1 April 1915, Bajawa ditetapkan sebagai ibukotanya. Dahulu lokasi Mapolres Ngada saat ini menjadi tempat tinggal "Gezaaghebber" atau "Controleur" yang menjadi pejabat setempat. Sejumlah pesanggrahan atau penginapan pernah berdiri di antaranya di lokasi Kantor Banwas dan bekas Kantor Kecamatan Ngada Bawa.
Sekitar 11 Oktober 1921 berdiri Paroki MBC Bajawa. Paroki ini baru memiliki gedung gereja sendiri pada 1922. Dalam perjalanan waktu, gedung gereja bergaya gotik rampung pada 30 Mei 1930. Ini menjadi satu dari sangat sedikit jejak sejarah masa silam yang masih terlihat hari ini.
Walau memiliki akar kekatolikan yang kuat, Bajawa tetap terbuka pada perubahan. Termasuk bagi tumbuh dan berkembangnya penduduk dari agama lain.
Tempat berhawa sejuk, dan oleh banyak orang dianggap dingin, kini menjadi rumah bersama. Pada Februari 2010, masjid lama dibongkar. Masjid itu telah berdiri sejak 1965. Saat dibongkar usianya tak kurang dari 45 tahun.
Tempat itu menjadi tonggak bagi bertumbuhnya keislaman di Bajawa. Sebelum diperbesar, masjid yang berdiri di atas tanah seluas 600 meter persegi itu memiliki jamaah sekitar 150 orang dengan dua muadzjin.
Seiring berjalannya waktu, jumlah jamaah semakin tumbuh pesat. Masjid yang semula berkapasitas 650 umat tak lagi cukup. Pembangunan gedung baru menjadi penting untuk menampung lebih banyak umat. Semula berukuran kecil, masjid itu terus mengalami perkembangan hingga kemudian memiliki tiga lantai.
Selain menampung lebih banyak umat, pada lantai dasarnya dapat digunakan sebagai sarana pendidikan, pertemuan, hingga perkantoran.
Desain dan bentuk masjid ini memang indah. Menjadi sarana ibadah yang pantas bagi umat muslim. Tetapi juga ikut memperindah kota Bajawa. Berada di pusat kota, masjid raya ini seperti menjadi bagian dari urat nadi kehidupan keagamaan di kota tersebut.