Bila Anda pernah bertandang ke Bajawa, ibu kota Kabupaten Ngada, Flores, NTT, maka akan menjumpai sejumlah pemandangan menarik. Salah satunya menemukan beberapa rumah ibadah berdiri berdampingan. Beberapa gereja seperti menjadi pagar pelindung bagi satu-satunya masjid agung di kota itu.
Masjid bernama Al-Ghuraba Baiturrahman terletak di Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Kisanata. Posisinya menghadap ke timur, dengan sedikit serong agar tetap bisa menatap Gereja GMIT Ebenhaezer yang tegak di hadapannya. Di antara kedua bangunan itu hanya terpisah ruas jalan utama dari dan menuju sejumlah titik perkantoran.
Melalui jalur yang sama umat Katolik yang bergerak dari arah timur kota Bajawa bisa menjangkau Gereja Katolik Mater Boni Consilii (MBC) Bajawa yang letaknya nyaris sepelempar batu dari Al-Ghuraba Baiturrahman. Bila dari titik yang sama lantas mengambil rute ke utara maka akan menjumpai Gereja Katolik Santu Yosef di wilayah Lebijaga.
Bajawa memang mungil. Dari ketinggian di jalur trans Flores, kota dingin ini berada di ceruk lingkaran pegunungan. Di tempat itu, puluhan ribu penduduk berdiam dengan beberapa ribu umat muslim dari antaranya.
Urat Nadi
Bapak H. Nainawa, seorang tokoh dan pemuka adat, seperti dituturkan Bapak Domi Mere Wea, mengatakan Bajawa berasal dari "Bhajawa." Kata "Bhajawa" terbentuk dari dua suku kata yakni "bha" yang berarti piring dan "Jawa" yang berarti perdamaian. Jawa juga bisa diartikan sebagai tanah Jawa. Dengan demikian, "Bhajawa" berarti "piring perdamaian" atau "piring dari Jawa."
Bhajawa adalah nama salah satu dari tujuh kampung yang berada di sisi barat Kota Bajawa. Tujuh kampung itu membentuk suatu persekutuan yang disebut " Nua Limazua. " Ketujuh kampung atau "nua" dalam bahasa setempat adalah Bhajawa, Bongiso, Bokua, Boseka, Pigasina, Boripo dan Wakomenge.
Dibanding enam kampung lainnya, Bhajawa dianggap sebagai yang terbesar. Tak heran bila Belanda kemudian menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Onder Afdelling Ngada.
Masih dari sumber yang sama, nama Bhajawa kemudian berubah menjadi Bajawa karena pengaruh orang Belanda. Mereka cukup sulit berbicara bahasa daerah dengan tepat sehingga lambat laun mempopulerkan nama tempat tersebut sebagai Bajawa.