Walau demikian, tidak sedikit yang mendukungnya. Pencopotan berbagai status itu tidak membuatnya bungkam. Paus Paulus VI, penerus Yohanes XXIII, kemudian coba melunakkan hati Kung. Namun, tawaran posisi di Vatikan tidak menggoyahkan posisinya.
Terkait hal ini, Kung kemudian menulis, seperti dikutip Douglas Martin di The New York Times (6/4/2020), bahwa mengambil posisi itu akan membuatnya menjadi seorang konformis. Tawaran tersebut sebenarnya sebuah "kesempatan besar dalam hidup saya."
Robert Kaiser, koresponden majalah Time di Vatikan II, menulis di The National Catholic Reporter pada 2006, "Jika dia memainkan kartunya secara berbeda, Hans Kung bisa jadi paus."
Namun, rasa-rasanya tetap sulit bagi Kung untuk menjadi orang nomor satu di gereja Katolik saat itu. Selain tantangan sedemikian besar dari lingungan sekitar, kemudian berkembang sebuah lelucon, kalaupun Kung punya kans untuk itu ia tak akan mengambilnya karena dia tidak akan sempurna.
Salah satu hal yang dikritiknya adalah soal infalibitas Paus. Paus tidak mungkin salah. Apa yang disampaikan Paus terkait iman atau moral ex cathedra (dari kedudukannya secara resmi) pasti benar.
Untuk selalu dianggap benar, melanjutkan lelucon tadi, Kung merasa itu tak akan bisa. Karena itu, ia menulis panjang lebar tentang sikapnya itu dalam buku Infallible? An Enquiry (1971).
Kedua, sekalipun selalu ditentang oleh otoritas, Kung tidak pernah kehilangan harapan. Begitu juga setelah Paus Yohanes Paulus II menyetujui pencabutan otoritas teologisnya, ia justru tetap produktif. Tidak dapat lagi mengajar dan kehilangan jabatan apapun dalam gereja, membuatnya semakin menarik perhatian luas melalui buku-buku yang ditulisnya dan kuliah-kuliah yang diberikan.
Menariknya, setelah Kardinal Joseph Ratzinger, menjadi Paus Benediktus XVI pada tahun 2005, Kung diundang ke kediaman musim panasnya di Puri Gandolfo di luar Kota Roma. Paus Benediktus sebenarnya adalah teman lamanya, namun keduanya berada di kutub berbeda terkait sikap dan pandangan iman dan doktrinal. Selama bertahun-tahun mereka terlibat dalam perbedaan pandangan yang sengit.
Undangan itu tentu diterima Kung dengan hati terbuka. Kung sudah berkali-kali meminta waktu bertemu Paus Yohanes Paulus II, namun selalu berakhir dengan penolakan. Tak heran pertemuan Kung dan Paus Benediktus sontak menjadi perhatian luas.
Terlepas dari polemik yang dibangun di antara mereka dan dengan gereja, pertemuan ini menyiratkan banyak makna. Perdebatan dan perbedaan pandangan tidak pernah menegasikan kemanusiaan.