Tidak bisa dihubungi sejak Minggu, (4/4), membuat hati ini gundah gulana tak karuan, akhirnya kabar melegakan itu datang Rabu, (7/4) pagi ini.
Bapak baru saja tiba di Rumah Sakit. Ini baru saja charge HP.
Suara di ujung telepon meredakan ketegangan. Sejak tiga hari terakhir kami tak bisa berkomunikasi sama sekali. Sebagai lelaki yang mempersunting anak semata wayangnya, rasa yang berkecamuk hampir tak bisa didefinisikan. Bisa dibayangkan bagaimana bila berada di posisi orang yang membuatku menjadi suami.
Tidak hanya saya, para perantau atau NTT diaspora di berbagai tempat, juga merisaukan nasib sanak keluarga di kampung halamannya. Begitu juga sahabat, kenalan, kolega, hingga "mantan" dalam segala bentuk relasi, merasakan kegetiran yang sama.Â
Di mana-mana kita menjumpai ungkapan keprihatinan dan duka cita. Dengan berbagai cara kita coba mengartikulasikannya.
Percakapan singkat pagi ini bak momen katarsis. Segala emosi dan perasaan yang nyaris meluap karena tak kuasa dipendam selama sekian puluh jam akhirnya lepas.
Bapak bisa kami hubungi setelah ia memaksakan diri ke kantor, tempatnya mengabdi hingga menjelang pensiun. Bencana yang telah memporak-porandakan sejumlah titik di NTT, membuat Kota Kupang, ikut terdampak.
Siklon Tropis Seroja yang bergerak di sekitar perairan NTT menyebabkan kerusakan yang dahsyat. Bencana hidrometeorologi (banjir bandang, angin kencang, gelombang tinggi, gelombang pasang) seakan tak mau berhenti dalam beberapa hari lalu, meninggalkan jejak kehancuran di banyak tempat.
Seperti kemudian tersiar ke mana-mana, hampir tak terdata kerusakan yang terjadi. Tidak hanya fisik-material, tetapi juga guncangan jiwa dan kehilangan raga. Kupang menjadi kota mati. Akses penerangan, seperti banyak ruas jalan, putus. Dalam kegelapan mereka harus berjuang untuk bertahan hidup.
Tadi bapak terpaksa ke kantor. Di beberapa tempat masih ada genangan air. Sejumlah tempat belum bisa dilewati.
Ia juga sempat berkeluh kesah. Mulai dari sulitnya menjaga asupan makanan, hingga perjuangannya untuk menata kembali berbagai kerusakan. Beberapa bagian rumah harus diperbaiki. Ia pun tak bisa mengandalkan orang lain untuk menyingkirkan sejumlah pohon yang tergeletak di pekarangan rumah.
Satu pohon merunggai yang daunnya selalu terlihat di antara gulungan indomie panas kala sarapan pagi saat pulang kampung. Sejumlah pohon pisang yang belum sempat dipanen. Beberapa pohon papaya yang nyaris selalu gundul sebelum berbuah. Semuanya tinggal kenangan dan meninggalkan lelah di tubuh pria tua itu.
Saatnya bangkit
Apa yang terjadi pada bapak adalah satu dari sekian banyak potret pasca-bencana di NTT. Bisa jadi yang dialaminya tak seberapa dibanding yang lain.
Banyak rumah di Adonara, Flores Timur, juga Lembata tertimbun longsor. Belasan desa di Kabupaten Malaka terendam banjir. Bendungan Kambaniru di Kabupaten Sumba Timur jebol sehingga nasib 1.440 hektar lahan persawahan merana. Masih banyak yang seharusnya bisa disebut.
Banyak korban berjatuhan. Info dua jam lalu dari kantor berita nasional, Antara, 129 orang terluka, 124 orang meninggal, dan 74 orang belum ditemukan. Sementara 13.230 warga harus mengungsi. Rumah 1.962 warga rusak, baik tergolong berat, ringan, maupun sedang.
Kita berharap si bunga maut itu sudah minggat dari NTT. Dengan demikian, saatnya bekerja untuk menata kembali. Walau berat, hidup tetap harus berlanjut. Bangkit dari keterpurukan adalah keharusan bila tidak ingin menyerah pada keadaan.
Bagi sebagian orang yang terdampak, perjuangan itu bisa jadi mudah. Namun bagi tidak sedikit orang upaya tersebut adalah kerja berat. Tidak hanya melepas kenangan pahit, tetapi juga menginvestasikan lagi tenaga, semangat, konsentrasi, hingga materi.
Kita tahu NTT bukan daerah dengan masyarakat berekonomi bagus. Februari lalu, tersiar statistik tingkat kemiskinan di NTT. Bukan prestasi yang patut dibanggakan. NTT masuk tiga besar dengan jumlah penduduk miskin terbanyak. Dengan presentase 21,21%, NTT hanya lebih baik dibanding Papua Barat (21,7%) dan Papua (26,8%). Ini data per September 2020.
Tingkat kemiskinan di NTT tidak menunjukkan tren positif. Periode sebelumnya, Maret 2020, berada di angka 20,90%. Tidak hanya di desa, di perkotaan pun jumlah penduduk miskin bertambah. Naik 5,500 orang menjadi 118.880 di wilayah perkotaan. Sementara itu, di pedesaan berjumlah, 1.040.370 setelah bertambah sekitar 14.300 orang miskin baru.
Kemiskinan yang tidak mengenal tempat. Tidak juga peduli pada waktu. Penambahan jumlah penduduk miskin tak lepas dari terjangan pandemi yang tak mengenal ampun pada warga NTT.
Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2020, naik 1,84 persen menjadi 7,07 persen. Setahun sebelumnya, masih di 5,23 persen. Sekitar 29,12 juta penduduk usia kerja (14,28 persen) terkena dampak Covid-19, mulai dari kehilangan pekerjaan, hingga dikurangi jam kerja dengan konsekuensi pemangkasan upah.
Sehari-hari mayoritas penduduk NTT begitu bergantung pada beras. Pengeluaran untuk kebutuhan makanan begitu tinggi sehingga ikut berkontribusi pada tingginya angka pengeluaran minimum. Selain banyak mengeluarkan uang untuk kebutuhan makanan, tingkat kebutuhan akan rokok kretek pun tak kalah tinggi dengan menyumbang garis kemiskinan sebesar lebih dari 6 persen.
Selain makanan dan non makanan di atas, kebutuhan akan perumahan masih menjadi perhatian banyak orang NTT. Coba kita bayangkan. Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 404.712/kapita/bulan, sementara rumah telah luluh lantak, dan area persawahan terancam puso, bagaimana mereka harus melanjutkan hidup?
Tidak merokok mungkin masih bisa ditahan. Tetapi urusan perut, jelas perkara yang tak bisa dikompromi. Dalam situasi seperti ini mana yang harus mereka dahulukan antara rumah, kebutuhan pangan, kebutuhan sandang, atau kebutuhan papan dengan jumlah uang sekian terbatas, atau dalam keadaan tidak memiliki dasar untuk berharap karena telah kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian?
Sapa mo help?
NTT harus bangkit. Tapi untuk bangkit sendiri-sendiri dalam situasi serba sulit seperti saat ini jelas memberatkan. Bahkan tidak sedikit yang sudah mengibarkan bendera putih. Minta pertolongan. Kalau sudah begini, seperti judul lagi yang sempat viral di NTT, sapa mo help?
Saya cukup terharu dengan begitu besar dan luasnya solidaritas dan simpati yang mengemuka dalam hitungan jam. Di mana-mana orang berbicara tentang bencana di NTT dan beberapa tempat di NTB. Walau sempat merasa kecil hati dan perhatian karena pemberitaan yang terkooptasi dan tersandera oleh rating sinetron dan tayangan hajatan, belakangan ini perhatian pada NTT sedemikian masif.
Banyak cara dan bentuk yang bisa dibaca. Pertama, ungkapan keprihatinan dan bela rasa membanjiri linimasa sosial media belakangan ini. Datangnya dari mana-mana. Diserukan oleh orang-orang dari berbagai latar belakang.
Tidak hanya berkata-kata. Tidak sedikit yang terderak untuk berbagi. Dari sejumlah postingan di sosial media, terlihat banyak bertebaran seruan solidaritas. Menyertai informasi terkait perkembangan situasi di beberapa tempat kejadian, ajakan untuk berdonasi baik pakaian, makanan, obat-obatan, hingga uang, disebarkan ke mana-mana. Gerakan ini tidak hanya diinisiasi oleh lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemahasiswaan, komunitas religius, perkumpulan masyarakat atau anggota komunitas, tetapi juga oleh individu-individu tertentu.
Tidak hanya berhenti dengan seruan. Terlihat berbagai aksi penggalangan bantuan dengan menyambangi sejumlah titik keramaian di berbagai tempat di Indonesia. Di Papua misalnya, orang-orang muda NTT perantauan, mengajak masyarakat setempat untuk berbagi. Bersenjatakan kotak amal, mereka merentang tangan.
Tentu, ada banyak bentuk dan cara berbuat untuk NTT. Kita bisa mengurutnya panjang-lebar. Sukar untuk memastikan seberapa besar dan banyak bantuan yang sudah didapatkan dari gerakan swadaya dan spontan seperti ini. Soal ini biarlah berlaku prinsip, "apa yang diperbuat tangan kiri hendaknya tak perlu diketahui tangan kanan." Walau untuk urusan tertentu, soal transparansi dan akuntabilitas tetap patut dijaga.
Hanya saja, yang menjadi harapan bersama adalah bantuan tersebut bisa tersalurkan dengan baik. Tidak hanya pada orang yang tepat, tetapi juga tepat sesuai kebutuhan. Tentu, masih banyak masyarakat di beberapa titik yang tetap menantikan uluran tangan. Untuk bisa menjangkau semua masih butuh waktu karena keterbatasan akses dan informasi. Selain itu, sumbangan sukarela apa pun itu tetap punya keterbatasan.
Kedua, untuk melengkapi keterbatasan dan kekurangan itu, kita meminta pada negara. Bersyukur, pemerintah cukup sigap. Presiden Joko Widodo sudah memerintah kementerian terkait untuk bergerak. Ia menyerukan sejumlah tindakan yang patut ditempuh, baik segera-jangka pendek, maupun kepentingan jangka panjang.
Ia meminta penanganan dan pemenuhan kebutuhan pengungsi dilakukan secara baik. Ia memerintahkan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mendata titik-titik pengungsian dan memastikan logstik mereka terpenuhi. Makanan, tenda, dapur lapangan, hingga kebutuhan dasar bagi pengungsi umumnya, terutama kelompok prioritas seperti bayi dan anak-anak, perlu disiapkan.
Selain itu, Jokowi juga menyerukan kepada Kepala BNPB, Kepala Basarnas, Panglima TNI, dan Kapolri mengerahkan segenap kemampuan untuk mempercepat proses evakuasi, pencarian, hingga penyelamatan korban.
Di samping itu, Jokowi juga meminta Basuki Hadimuljono, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), untuk ikut membantu, termasuk menjalankan pekerjaan yang tak kalah penting: perbaikan infrastruktur yang rusak, seperti jalan, jembatan, di samping jaringan listrik, jaringan telekomunikasi, jaringan internet, jaringan air bersih, hingga distribusi BBM.
Sebelum Jokowi bersuara, Doni Monardo lebih dulu terlihat di Maumere, lalu menyusul Menteri Sosial (Mensos), Tri Rismaharini . Seakan tidak hanya berseru dari balik mimbar, Jokowi pun ingin melihat dari dekat. Ia dikabarkan mengagendakan kunjungan ke lokasi bencana.
Memang, pelaksanaan di lapangan tidak mudah. Cuaca yang kurang bersahabat, lokasi yang sulit dijangkau, hingga keterbatasan akses, membuat kerja tersebut menuntut kesabaran. Kita berharap kerja sama dan kerja bersama ini bisa lebih sinergis agar mempercepat proses pemulihan walau tidak bisa segera tuntas.
Kita belum tahu sejauh mana pemerintah pusat ikut membantu. Hingga kini belum terdengar status bencana NTT sebagai bencana nasional. Bila sampai tidak, maka kerja pemerintah daerah dan masyarakat setempat akan lebih berat.
Prioritas kebutuhan saat ini adalah makanan dan air bersih. Di samping itu, perbaikan fasilitas dan sarana vital seperti jalan dan sambungan telekomunikasi dan energi (listrik dan BBM). Perlu ditempuh segera untuk menghindari dampak dan kerugian lanjutan yang tidak diharapkan. Jangan sampai timbul bencana dan kesengsaraan baru.Â
Berkah terselubung
Pekerjaan paling berat tentu ada di pihak masyarakat sendiri. Menjalani hari-hari hidup dengan kenangan tragedi yang selalu membayang. Menata kembali serpihan-serpihan kehancuran dengan berbagai beban tambahan agar hidup bisa terus berlanjut.
Masyarakat NTT memiliki karakter petarung. Alam telah menempa dan membentuk mereka dengan keras. Sejak sebelum ada bencana ini, mereka sudah bersahabat dengan kesulitan dan keterbatasan yang membuat mereka harus bekerja keras dan pantang menyerah.
Walau dalam kadar dan kondisi berbeda, setidaknya hari-hari panjang sebelumnya membuat mereka bisa lebih kuat. Dorongan lahiriah yang membuat upaya pemulihan tidak berlarut-larut.
Meski demikian, bencana yang baru saja berlalu ini, patut menjadi pelajaran. Pelajaran tentang menjaga api soliditas, solidaritas, dan empati tanpa batas dan sekat. Tidak hanya dengan dan di antara sesama manusia, tetapi juga dengan alam.
Alam memang bergerak dengan hukumnya. Namun, hukum alam itu sudah bisa dibaca manusia dengan baik. Membangun keharmonisan dengan alam, mempertebal kepekaan akan tanda-tanda alam, hingga meningkatkan kewaspadaan dan kesiap-siagaan.
Mitigasi bencana, hingga rasa ingin tahu yang positif pada gejala alam dan informasi iklim, perlu (terus) dibangun. Jangan pernah sepelehkan peringat dini BMKG!
Bila sebelumnya kita sempat nyaman karena menilai alam akan selalu bersahabat, maka kini kita perlu sadar. Pada waktunya alam akan menujukan rupa berbeda, tanpa persetujuan manusia. Yang bisa kita lakukan adalah senantiasa berjaga-jaga, selalu waspada, dan bela rasa dengan seisi alam.
Seabrek berkah kasat mata dan terselubung (blessing in disguise) ini bisa kita nikmati di tengah upaya bangkit dari serpihan-serpihan kehancuran. Walau berat, hidup harus terus berlanjut. Seperti bapak, meski sendiri, tak begitu saja menyerah. Terima kasih seribu sudah ikut membantu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H