Dalam dua tahun terakhir, Pekan Suci umat Katolik Flores, tidak diwarnai prosesi Semana Santa. Seperti tahun lalu, tahun ini pun suasana Kota Larantuka, Flores, NTT, menjelang perayaan Paskah terlihat tidak seperti biasa.
Tidak ada persiapan, hiasan, dan penyelenggaraan ritual perayaan Pekan Suci yang sudah berlangsung lebih dari lima abad. Kota di ujung timur Pulau Flores itu seperti benar-benar ikut berkabung dengan segenap penghuninya. Bersama Maria, perempuan berkabung (Mater Dolorosa), menyaksikan jalan salib Yesus.
Sejatinya, Semana Santa tidak hanya menjadi perhatian umat Flores yang beragama Katolik. Tidak juga sekadar menjadi daya tarik lokal. Patut diakui, pesona Semana Santa sudah dikenal di seantero Indonesia bahkan hingga ke mancanegara.
Tak heran, kala wabah Covid-19 belum menerjang dunia tanpa ampun, saban tahun puluhan ribu orang membanjiri acara Semana Santa. Kota yang berada di kaki Gunung (Ile/Ili dalam bahasa setempat) Mandiri itu berubah ramai. Dengan luas 75,9 km persegi, salah satu kota di pulau yang disebut Nusa Bunga itu, seperti tak cukup menangkup lautan peziarah. Mereka itu datang dari mana-mana.
Panitia, pemerintah setempat, hingga pemilik penginapan, selalu kewalahan untuk mengakomodasi para pengunjung yang datang sendiri-sendiri atau berkelompok.Â
Tidak sedikit dari antara mereka yang memutuskan akan datang, memilih untuk mempersiapkan diri lebih awal. Tidak hanya datang lebih cepat. Mereka juga memesan kamar sejak beberapa bulan sebelumnya.
Bila sampai telat memesan, maka tidak hanya kewalahan mendapatkan tempat untuk merebahkan diri di sekitar tempat prosesi. Sulitnya mendapat jadwal penerbangan langsung ke Larantuka memaksa pengunjung harus mencari rute penerbangan lain ke Flores.
Rangkaian panjang
Prosesi Semana Santa adalah ritual yang sudah bertahan sejak lebih dari 500 tahun lalu, tepatnya sejak patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka.
Tuan Ma mengacu pada Bunda Maria yang tergambar pada patung seorang wanita dengan wajah tampak bersedih. Sejak dahulu, Bunda Maria telah menjadi ikon kota Larantuka yang dijuluki Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria. Lebih dari itu, devosi kepada Bunda Maria sudah menjadi jantung kehidupan rohani warga setempat.
Selain patung Tuan Ma, prosesi Semana Santa juga tak bisa dipisahkan dari patung Tuan Ana. Tuhan Yesus. Kedua patung ini menjadi pusat perhatian selama prosesi Semana Santa.
Tidak sembarang waktu kedua patung itu bisa ditampilkan kepada publik. Selama setahun, keduanya disimpan dalam peti dan diamankan di kapela tersendiri. Didahului prosesi Muda Tuan Ma yaitu Buka Pintu Kapela Tuan Ma oleh keturunan Raja Larantuka, Don Andreas Martinus DVG.
Selanjutnya, Patung Tuan Ma dimandikan dan dilengkapi busana perkabungan berwarna biru tua. Sementara itu di Kapela Tuan Ana, dilakukan upacara serupa. Patung Yesus dimandikan. Kedua upacara itu digelar pada Kamis Putih.
Warga setempat menyebut Semana Santa sebagai Hari Bae. Kata Semana Santa berasal dari bahasa Portugis.Semana berarti pekan atau minggu dan santa berarti suci. Singkatnya, Semana Santa berarti pekan suci.
Rangkaian acaranya berlangsung seminggu penuh, sejak Minggu Palma hingga Minggu Paskah. Sepanjang pekan itu ada momen-momen penting dengan sejumlah ritual tersendiri seperti "Rabu Trewa", Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Santo.
Berikut beberapa penekanan dari masing-masing hari. Pertama, "Rabu Trewa" ditandai dengan penutupan "mengaji semana santa". Hari itu rangkaian berdoa sambil bernyanyi yang dilakukan sejak Rabu Abu (dimulainya masa pra-Paskah atau masa puasa 40 hari atau 46 hari sebelum Paskah) berakhir.
Sore hari diadakan Lamentasi (ratapan) mengikuti ritus Romawi Kuno. Usai Lamentsai dibuat keributan dengan memekikkan kata "trewa."
Kedua, Kamis Putih ditandai dengan upacara "muda Tuan." Peti berisi patung Tuan Ma dibuka, dibersihkan, dan dimandikan. Selanjutnya didandani dengan busana khusus. Selanjutnya umat diberikan kesempatan untuk menyampaian doa dan intensi-intensi khusus (promesa). Hal serupa dilakukan juga di Kapela Tuan Ana.
Barisan panjang akan tercipta karena ribuan peziarah akan ambil bagian untuk menghadap patung Tuan Ma. Antre sambil berdoa, sampai tiba giliran untuk bersujud dan mencium kaki patung Tuan Ma.
Saat itu bisa dipakai untuk berdoa dan menyampaikan ujud tertentu. Upacara ini memakan waktu yang tidak singkat karena banyaknya peziarah.
Ketiga, Jumat Agung. Ini dianggap puncak perayaan Semana Santa. Disebut juga Sesta Vera. Ibadah ini didahului prosesi laut.
Patung Yesus dalam peti jenazah diantar dari Kapela Tuan Meninu di Kota Rowido, Kelurahan Sarotari Tengah, menuju Pelabuhan Cure di dekat Kapela Tuan Ma dan Tuan Ana.
Oh ya, Larantuka adalah kota sejuta kapela (gereja kecil). Hampir di setiap sudut mudah kita temui kapela. Masing-masing memiliki nama pelindung. Kapela Tuan Menino dan Kapela Miseri Cordia yang masing-masing berada di ujung timur dan barat Larantuka, berikut Kapela Tuan Ma dan Kepala Tuan Ana menjadi yang terbesar sekaligus sentra Semana Santa.
Prosesi laut menjadi salah satu daya tarik. Patung Tuan Meninu ditempatkan di sebuah perahu dan diberi tenda penutup, dijaga pengawal khusus. Sejumlah sampan berisi petugas khusus ikut mengawal dari samping.
Ribuan peziarah ikut ambil bagian. Berbagai jenis dan ukuran perahu motor, juga kapal dipakai. Pada suatu kesempatan, beberapa tahun lalu, sempat terjadi kecelakaan karena saratnya peziarah di sebuah perahu motor yang berukuran kecil.
Untungnya, saat itu saya hanya melihatnya dari jauh, sama seperti ribuan peziarah lainnya yang memilih menyaksikannya dari daratan.
Sekitar Pukul 14.00 WITA, Tuan Ma dan Tuan Ana diarak menuju Gereja Katedral Reinha Rosari. Di Gereja Katedral itu ribuan umat sudah berkumpul. Para Conferia (kelompok awam yang sudah dibentuk sejak lama) mengumandangkan ratapan Yeremiah. Suara mereka sungguh menyayat hati.
Selanjutnya, dimulailah perarakan melewati sejumlah perhentian (armida, yang menjadi lambang delapan suku). Perhentian ini adalah tempat-tempat persinggahan bersifat temporal dibuat untuk kepentingan Semana Santa.
Sementara benda-benda suci seperti salib dan patung peninggalan nenek moyang disimpan di sebuah tempat yang disebut Tori. Ada sejumlah Tori yang dimiliki sejumlah suku tertentu yang berkewajiban menjaga benda-benda rohani itu sebagai pusaka secara turun-temurun.
Perarakan ini menjadi salah satu momen yang ditunggu-tunggu. Puluhan ribu orang berada dalam barisan panjang yang diatur dengan susunan tertentu. Rute yang ditempuh adalah mengelilingi Kota Larantuka.
Lautan umat yang mengular panjang sambil memegang lilin membuat kota Larantuka malam itu terlihat bagai ular yang sedang bergerak lambat. "Ular" itu meliuk-liuk lambat pada jalur berpagar bambu dengan sematan lilin-lilin bernyala.
Ya. Kita perlu mencukupkan diri dengan asupan makanan yang cukup. Selain kesiapan tenaga, fisik kita pun harus kuat. Kaki kita harus siap melangkah pendek untuk melewati perjalanan yang memakan waktu lama, walau jarak tempuh sesungguhnya tak sepanjang yang dibayangkan.
Walau demikian, berarak sambil berdoa dalam kerumunan yang kompak berbusana hitam sungguh mengesankan. Setiap orang seakan diajak untuk merenungkan makna penderitaan.
Lagu-lagu ratapan yang dibawakan confreria, signor deo, dan barisan perempuan berkabung sungguh mengharukan. Di setiap perhentian, seorang perempuan melantunkan ratapan (ovos omnes), bentuk ratapan dukacita (ovos) Bunda Maria atas penderitaan putra-Nya. Lengkingan pilu di kesunyian malam sungguh menyentuh.
Wisata Rohani dan Wisata Devisa
Patut disebut, prosesi Semana Santa itu sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Larantuka. Keberlangsungan acara tersebut tidak hanya berarti pelestarian ritual iman tetapi juga pewarisan budaya. Selain aspek agama, unsur budaya Portugis juga menonjol.
Tak heran para peziarah yang berbondong-bondong ke Larantuka tidak hanya ingin menikmati wisata rohani, tetapi juga kultural. Namun, tidak sebatas mencecap sensasi rohani dan budaya. Ada nilai-nilai lain yang mengemuka dari Semana Santa itu.
Patut diakui, prosesi Semana Santa menjadi perayaan yang merangkul begitu banyak orang. Berbagai latar belakang suku, tradisi, dan agama melebur. Semua bersatu. Semua seiring sejalan untuk menjalani proses demi proses dengan peran berbeda-beda.
Warga lokal merangkul para pendatang dengan ramah. Orang-orang Larantuka memperlakukan para peziarah laiknya tamu istimewa. Mereka menyambut dengan penuh sukacita. Bahkan tidak sedikit warga setempat yang menyediakan rumah mereka sebagai tempat peristirahatan bagi para peziarah.
Tidak hanya umat Katolik setempat yang sibuk. Warga muslim Larantuka juga ikut berperan. Selain membuka pintu rumah mereka lebar-lebar untuk pendatang yang mau beristirahat, bahkan menginap, para pemuda muslim juga ikut berpartisipasi mengamankan prosesi Semana Santa.
Bentuk toleransi yang indah. Selain karena telah dibiasakan oleh Semana Santa yang berlangsung tiap tahun, hubungan harmonis yang selalu dibangun dalam hidup harian, dan diperkuat oleh hubungan kawin-mawin, dengan sendirinya tidak menjadikan agama dan berbagai anasir religius-kultural sebagai masalah.
Wisata Rohani itu tidak hanya membuat aura spiritual Kota Larantuka tetap terlihat, tetapi juga menggeliatkan ekonomi setempat. Para pelaku industri kreatif dan pariwisata pun ketiban untung. Wisata rohani itu serentak menjadi wisata devisa.
Langkah bijak
Sayangnya, sejak tahun lalu para peziarah yang berkehendak mengikuti prosesi Semana Santa harus mengurungkan niatnya. Mereka yang ingin melihat dan merasakan Semana Santa untuk pertama kali harus mengagendakan ulang rencananya.
Pekan Suci tanpa Semana Santa jelas meninggalkan kekosongan bagi penduduk Larantuka dan umat Katolik setempat. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orang Larantuka saat ritual keagamaan yang telah dipelihara bertahun-tahun harus ditiadakan, walau untuk sementara.
Jelas, menghentikan acara tersebut bukan keputusan mudah. Namun demikian, sikap yang pada akhirnya diambil pemerintah dan otoritas gereja patut diapresiasi. Sebuah keputusan tepat dan tepat pada waktunya. Langkah bijak di tengah pandemi yang membabi-buta.
Bila tidak dihentikan, bisa dibayangkan seperti apa repotnya pemerintah dan panitia harus mengamankan puluhan ribu umat yang membanjiri kota Larantuka. Sulit diuraikan, betapa cemas dan khawatirnya orang-orang yang ingin menjaga kesehatan dan keselamatan diri di tengah rangkaian upacara yang berlangsung sepekan dan menuntut ketahanan dan persiapan fisik yang tidak ringan.
Begitu juga betapa mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang datang berpartisipasi. Apakah dalam suasana seperti itu rambu-rambu protokol kesehatan akan dipatuhi tanpa kompromi? Apa yang akan terjadi dengan orang-orang Larantuka dan para peziarah setelah prosesi Semana Santa itu berakhir?
Demikian beberapa pengandaian yang telah dibayangkan yang kemudian mendorong penghentian sementara prosesi tersebut. Pandemi korona yang belum melandai, apalagi tingkat penyebarannya yang masih tinggi di NTT, membuat kita pada akhirnya harus tunduk pada keselamatan dan kesehatan.
Kita boleh merindukan Semana Santa, namun pada saat ini baiklah kita memikirkan keselamatan diri dan orang-orang di sekitar kita. Kerinduan itu bisa kita tandaskan pada waktunya nanti.Â
Toh, tanpa prosesi Semana Santa kali ini kita masih tetap bisa merenungi jalan salib dan penderitaan Kristus dengan sejumlah upacara yang terbatas, yang senyatanya adalah bagian dari memaknai salib di masa pandemi ini.
Referensi:
Johan Suban Tukan (ed), Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana: Mempertimbangkan Tradisi Katolik di Larantuka-Konga-Wureh, YPPM, Jakarta 2001
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H