Tidak hanya umat Katolik setempat yang sibuk. Warga muslim Larantuka juga ikut berperan. Selain membuka pintu rumah mereka lebar-lebar untuk pendatang yang mau beristirahat, bahkan menginap, para pemuda muslim juga ikut berpartisipasi mengamankan prosesi Semana Santa.
Bentuk toleransi yang indah. Selain karena telah dibiasakan oleh Semana Santa yang berlangsung tiap tahun, hubungan harmonis yang selalu dibangun dalam hidup harian, dan diperkuat oleh hubungan kawin-mawin, dengan sendirinya tidak menjadikan agama dan berbagai anasir religius-kultural sebagai masalah.
Wisata Rohani itu tidak hanya membuat aura spiritual Kota Larantuka tetap terlihat, tetapi juga menggeliatkan ekonomi setempat. Para pelaku industri kreatif dan pariwisata pun ketiban untung. Wisata rohani itu serentak menjadi wisata devisa.
Langkah bijak
Sayangnya, sejak tahun lalu para peziarah yang berkehendak mengikuti prosesi Semana Santa harus mengurungkan niatnya. Mereka yang ingin melihat dan merasakan Semana Santa untuk pertama kali harus mengagendakan ulang rencananya.
Pekan Suci tanpa Semana Santa jelas meninggalkan kekosongan bagi penduduk Larantuka dan umat Katolik setempat. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan orang Larantuka saat ritual keagamaan yang telah dipelihara bertahun-tahun harus ditiadakan, walau untuk sementara.
Jelas, menghentikan acara tersebut bukan keputusan mudah. Namun demikian, sikap yang pada akhirnya diambil pemerintah dan otoritas gereja patut diapresiasi. Sebuah keputusan tepat dan tepat pada waktunya. Langkah bijak di tengah pandemi yang membabi-buta.
Bila tidak dihentikan, bisa dibayangkan seperti apa repotnya pemerintah dan panitia harus mengamankan puluhan ribu umat yang membanjiri kota Larantuka. Sulit diuraikan, betapa cemas dan khawatirnya orang-orang yang ingin menjaga kesehatan dan keselamatan diri di tengah rangkaian upacara yang berlangsung sepekan dan menuntut ketahanan dan persiapan fisik yang tidak ringan.
Begitu juga betapa mengkhawatirkan keselamatan orang-orang yang datang berpartisipasi. Apakah dalam suasana seperti itu rambu-rambu protokol kesehatan akan dipatuhi tanpa kompromi? Apa yang akan terjadi dengan orang-orang Larantuka dan para peziarah setelah prosesi Semana Santa itu berakhir?
Demikian beberapa pengandaian yang telah dibayangkan yang kemudian mendorong penghentian sementara prosesi tersebut. Pandemi korona yang belum melandai, apalagi tingkat penyebarannya yang masih tinggi di NTT, membuat kita pada akhirnya harus tunduk pada keselamatan dan kesehatan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!