Lautan umat yang mengular panjang sambil memegang lilin membuat kota Larantuka malam itu terlihat bagai ular yang sedang bergerak lambat. "Ular" itu meliuk-liuk lambat pada jalur berpagar bambu dengan sematan lilin-lilin bernyala.
Ya. Kita perlu mencukupkan diri dengan asupan makanan yang cukup. Selain kesiapan tenaga, fisik kita pun harus kuat. Kaki kita harus siap melangkah pendek untuk melewati perjalanan yang memakan waktu lama, walau jarak tempuh sesungguhnya tak sepanjang yang dibayangkan.
Walau demikian, berarak sambil berdoa dalam kerumunan yang kompak berbusana hitam sungguh mengesankan. Setiap orang seakan diajak untuk merenungkan makna penderitaan.
Lagu-lagu ratapan yang dibawakan confreria, signor deo, dan barisan perempuan berkabung sungguh mengharukan. Di setiap perhentian, seorang perempuan melantunkan ratapan (ovos omnes), bentuk ratapan dukacita (ovos) Bunda Maria atas penderitaan putra-Nya. Lengkingan pilu di kesunyian malam sungguh menyentuh.
Wisata Rohani dan Wisata Devisa
Patut disebut, prosesi Semana Santa itu sudah menjadi daya tarik tersendiri bagi kota Larantuka. Keberlangsungan acara tersebut tidak hanya berarti pelestarian ritual iman tetapi juga pewarisan budaya. Selain aspek agama, unsur budaya Portugis juga menonjol.
Tak heran para peziarah yang berbondong-bondong ke Larantuka tidak hanya ingin menikmati wisata rohani, tetapi juga kultural. Namun, tidak sebatas mencecap sensasi rohani dan budaya. Ada nilai-nilai lain yang mengemuka dari Semana Santa itu.
Patut diakui, prosesi Semana Santa menjadi perayaan yang merangkul begitu banyak orang. Berbagai latar belakang suku, tradisi, dan agama melebur. Semua bersatu. Semua seiring sejalan untuk menjalani proses demi proses dengan peran berbeda-beda.
Warga lokal merangkul para pendatang dengan ramah. Orang-orang Larantuka memperlakukan para peziarah laiknya tamu istimewa. Mereka menyambut dengan penuh sukacita. Bahkan tidak sedikit warga setempat yang menyediakan rumah mereka sebagai tempat peristirahatan bagi para peziarah.