Walau demikian, timbul pertanyaan. Adakah prestasi yang ditunjukkan tunggal putri dalam setahun terakhir? Adakah pemain tunggal putri lain yang pernah meraih gelar seperti Fitriani? Apakah Fitriani tidak bisa diberi kesempatan untuk mendapatkan kembali performa terbaik di pelatnas?
Kelima, akhirnya di balik setiap polemik, keputusan akhir ada pada PBSI. Tim pelatih dan para pihak terkait di sana, tentu memiliki dasar dan pertimbangan tersendiri. Tidak hanya aspek-aspek yang kelihatan oleh mata banyak orang dan di lapangan pertandingan.  Ada unsur lain yang hanya bisa diketahui secara baik oleh pelatih "seperti ketidakmampuan bersaing hingga attitude di pelatnas", seperti kata Rionny.
 Kita berharap setiap keputusan yang dibuat adalah yang terbaik, baik bagi bulutangkis Indonesia maupun para pemain.
Menarik membaca curahan hati Ni Ketut yang diposting di akun instagramnya beberapa jam lalu. Di sana ia menulis demikian.
"Sedari umur 8 tahun anak kecil ini memulai untuk bermimpi setinggi langit, datang dari kota kecil di Bali bermimpi bisa ada di kota besar dan berada di tim nasional."
Pembuka yang mengobok-obok emosi ini dilanjutkan dengan kebesaran hati menerima kenyataan.
"Siapa sangka anak kecil ini bisa mewujudkan salah satu mimpi besarnya dengan segala jerih payahnya. Si anak kecil ini akan selalu punya dan berusaha mewujudkan apapun mimpi besarnya sampai kapanpun dan dimanapun berada."
Ia tahu bahwa kini tak lagi menjadi bagian dari tim nasional. Namun ia mengatakan dirinya sudah berusaha sebaik-baiknya dan berjuang sehormat-hormatnya.
"Aku sudah melakukan apa yang aku bisa untuk hidupku yang lebih baik, I've done my best in National Team."
Tugas di pelatnas boleh usai. Meski begitu, dengan tanpa berada di pelatnas pun, tidak berarti mimpi yang sudah diperam sejak kecil lantas diperjuangkan dengan begitu gigih terkubur begitu saja. Masih ada jalan untuk berprestasi dan kesempatan untuk kembali ke pelatnas.