Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Selamat Memasuki Pekan Suci!

29 Maret 2021   06:35 Diperbarui: 29 Maret 2021   21:21 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan Suci. Minggu Suci atau holy week. Minggu Sengsara (Hebdomada Sancta). Demikian sederet sebutan dalam tradisi Kekristenan untuk menyebut satu pekan menuju hari Paskah, salah satu hari keagamaan (ter)besar. Dimulai dari Minggu Palma hingga Sabtu Suci. Hari Paskah selalu jatuh di hari Minggu.

Hanya saja, beberapa istilah di atas mengandung kerancuan. Sebutan Minggu Suci bisa membingungkan. Minggu yang dimaksud bisa dipahami sebagai pekan dan hari. Mengingat konteksnya adalah rangkaian peristiwa iman yang berlangsung selama sepekan, maka sebutan Pekan Suci dianggap paling tepat dan jelas.

Selama seminggu sejak Minggu Palma, ada sejumlah peristiwa iman yang direnungkan dan dirayakan. Minggu Palma sebagai awal, ditandai dengan peristiwa masuknya Yesus ke Yerusalem mengendarai keledai, kemudian dikenangkan dan dirayakan oleh orang Kristen, khususnya Katolik, hingga dewasa ini melalui prosesi dengan daun-daun palma.

Lalu, Kamis Putih, Jumat Agung, dan Sabtu Suci atau Malam Paskah (sehari sebelum Hari Paskah). Refleksi teologis Kamis Putih berpusat pada peringatan perjamuan akhir Yesus dan para murid-Nya. 

Jumat Agung merupakan peristiwa kematian Yesus di kayu salib. Sementara Sabtu Suci menjadi saat-saat penantian jelang kebangkitan Yesus.

Rangkaian perayaan Pekan Suci tentu bisa dipahami, dimaknai, dan dirayakan secara berbeda di masing-masing gereja. Juga di antara gereja ritus Timur dan ritus Barat. Pada kesempatan ini, saya tidak ingin masuk dalam perdebatan teologis dan pembedaan perayaan di antara setiap gereja.

Ilustrasi dari : www.kaj.or.id
Ilustrasi dari : www.kaj.or.id
Yang ingin saya kemukakan lebih terkait refleksi pribadi bersumber dari rentetan peristiwa iman itu. Memang soal iman sangat pribadi, bahkan terkadang sulit diperdebatkan secara terbuka dan rasional.

Namun, keyakinan yang tidak direfleksikan secara baik akan membeku dalam ritus yang kering dan dogma yang beku. Ia menjadi tidak bermakna apa-apa karena terlanjur menjadi "status quo."

Bukankah dalam keyakinan agama terkandung nila-nilai yang bisa diejawantahkan dalam laku kontekstual hidup sehari-hari? Untuk mendapatkannya, kita perlu mencecap setiap peristiwa iman dengan mata yang terbuka, telinga yang awas, dan pikiran yang jernih.

Realitas dunia terus berubah. Perubahan yang terus terjadi di depan mata itu menuntut pemahaman dan penghayatan iman yang terus diperbaharui agar sejalan dan selaras. Di situ, hemat saya, pemahaman akan ajaran iman menuntut keterlibatan. Setidaknya bagi saya atau bagi orang-orang yang sependapat dengan tulisan ini.

Menghidupi tegangan

Lantas apa pesan yang bisa saya tangkap kemudian berusaha diterjemahkan dalam hidup sehari-hari? Pertama, salah satu momen penting dalam Pekan Suci adalah saat Yesus disalibkan, wafat, namun kemudian bangkit.

Peristiwa itu menandakan satu makna yang dalam akan keilahian-Nya sekaligus kemanusiawian-Nya. Sebagai anak Allah, ia mengalami penderitaan hingga wafat di palang penghinaan. Sebagai Tuhan dia rela mengambil bagian dalam penderitaan khas manusia.

Ini menandakan bahwa Yesus sekaligus Allah dan manusia. Dia adalah sosok ilahi sekaligus manusiawi. Dualitas ini mengerucut pada satu keyakinan dasar soal inkarnasi. Inkarnasi berasal dari kata bahasa Latin, "in carne," sepadan dengan en sarki dalam bahasa Yunani. Menjadi daging.

Allah yang menjelma menjadi manusia. Persis tertulis dalam Yohanes 1: 14: "Firman telah menjadi manusia, dan diam di antara kita." Sabda itu telah menjadi daging.

Saat disalibkan kedua tangan Yesus direntangkan. Kemudian selalu ditegaskan dalam Doa Syukur Agung setiap kali merayakan ekaristi. Formulasi doanya demikian, "Sebab pada malam Ia dikhianati, sebelum tanganNya terentang antara langit dan bumi...."

Menarik memaknai rentangan tangan Yesus "antara langit dan bumi." Saya mengutip almarhum Romo B.Herry Priyono, SJ dalam refleksinya tentang peristiwa itu, sebagaimana dikisahkan kembali oleh Yanuar Nugroho dalam buku kenangan, "B.Herry Priyono dalam Kenangan Kami"(hal.287).

Penggalan "antara langit dan bumi" merepresentasikan dunia ide, gagasan, surga (langit) dan kenyataan, realita, dunia (bumi).  Kedua dunia itu tidak bisa saling menegasikan. Satu mempengaruhi yang lain. Satu menuntut yang lain.

Setiap ide dan gagasan misalnya, akan tinggal tetap bila tidak dinyatakan. Panggilan sebagai orang beriman akan menjadi seruan kosong bila tidak diterjemahkan secara positif-konstruktif dalam hidup sehari-hari.

Apa artinya menjadi seorang beriman bila keberimanan itu hanya berakhir di tempat ibadah dan dalam setiap teks KS yang selesai didaraskan? 

Menjadi semakin dekat dengan Tuhan juga mensyaratkan kedekatan yang sama intensnya dengan sesama manusia. Bahkan perwujudan akan kedekatan itu harus dinyatakan dalam relasi dengan yang lain yang kelihatan itu.

Memang tidak mudah menghidupi kedua dunia itu secara baik. Selalu saja terjadi tegangan. Tegangan ini jelas tak terhindarkan. Ia tidak akan bisa dibereskan sampai kapanpun. Justru di situlah dualitas itu menuntut kesadaran untuk menjalani, menikmati, dan menghidupinya.

Karena toh, "Hidup adalah tegangan abadi dualitas: Tuhan ditemukan lewat manusia, kesucian hadir dalam remuk-redam dunia."

Paskah di tengah pandemi

Kedua, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah menghadapi pandemi Covid-19. Situasi terpuruk ini sudah berlangsung nyaris setahun terakhir. Berbagai dampak sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari dalam berbagai rupa dan dimensi.

"Salib" pandemi ini sudah dipikul oleh setiap orang, hampir tak terkecuali. Masing-masing dengan ukuran berbeda-beda.

Dalam situasi seperti ini, laku penghayatan keimanan pun terdampak. Kita tak bisa menikmati Pekan Suci sekhusuk dan semulus tahun-tahun sebelumnya. Perarakan Minggu Palma dibuat secara terbatas. Riuh rendah persiapan hingga perayaan, berkurang.

Jumlah umat yang menghadiri Pekan Suci dibatasi. Keterbatasan itu pun dipertegas dengan rambu-rambu protokol kesehatan yang tak bisa ditawar-tawar.

Walau demikian, krisis yang sedang mendera ini menjadi kondisi yang tak terhindarkan, sekaligus membuat refleksi kesengsaraan Kristus menjadi semakin relevan dalam penghayatan kita.

Seperti Kristus yang menanggung sengsara dan rela mengorbankan nyawanya, demikian pun para pengikutnya hendaknya berani menghadapi pandemic dengan tetap menaruh harapan bahwa setelah kesengsaraan akan timbul sukacita. Setelah gelap malam akan terbit fajar cerah.

Yang dituntut saat ini adalah semangat keberpihakan kepada sesama yang paling membutuhkan. Pandemi ini menjadi momentum untuk memperkuat ikatan dan soliditas sosial, alih-alih membuat setiap orang semakin terpisah dan memisahkan diri. Pandemi seharusnya tidak membuat kita terpecah belah, tetapi semakin bersatu.

Sulit membayangkan krisis pandemi ini bisa diatasi bila masing-masing orang memilih jalannya sendiri!

Bijak menanggapi ancaman

Seusai mengikuti tayangan perayaan Minggu Palma di salah satu kanal YouTube, saya dikejutkan dengan berita ledakan di depan Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Peristiwa pada Minggu (28/3/2021) pagi itu disinyalir sebagai aksi bom bunuh diri.

Apakah teror ini menargetkan rumah ibadah, fasilitas umum, Polsek Ujung Pandang dan Polrestabes Makassar, atau Kantor Balaikota Makassar yang berada di sekitar episentrum ledakan? 

Soal ini biarlah diselesaikan oleh aparat penegak hukum agar kita tak jatuh pada salah tafsir dan salah paham. Sementara itu kita berharap para korban mendapat penanganan intensif.

Terlepas dari motif pelaku dan momen berbarengan dengan Minggu Palma, setiap orang diminta untuk tetap tenang dan menyikapinya secara bijak. Kita dituntut agar menjauhkan diri dari syak wasangka dan aksi-aksi provokatif. 

Saya melihat, tak berselang lama, berbagai potongan gambar, video kejadian, hingga rupa-rupa tafsiran tersebar di sejumlah lini sosial media.

Tentu, hal-hal semacam ini perlu dibatasi. Tujuannya, agar tidak menimbulkan ketakutan dan merangsang aksi-aksi tak terpuji. 

Sebagai warga negara, biarlah persoalan ini ditangani oleh pihak terkait. Kita mendesak negara untuk mengambil langkah strategis dan antisipatis agar peristiwa serupa tidak terjadi baik di tempat-tempat lain selama Pekan Suci, maupun setelah itu. 

Kita sedang sulit karena terjangan pandemi. Jangan sampai krisis ini semakin diperumit oleh aksi-aksi teror tak terpuji. Walau sulit, hidup masih patut dijalani dan kehidupan serta keselamatan setiap manusia tetap menjadi prioritas yang tak bisa dikompromi. 

Selamat memasuki Pekan Suci!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun