Memang tidak mudah menghidupi kedua dunia itu secara baik. Selalu saja terjadi tegangan. Tegangan ini jelas tak terhindarkan. Ia tidak akan bisa dibereskan sampai kapanpun. Justru di situlah dualitas itu menuntut kesadaran untuk menjalani, menikmati, dan menghidupinya.
Karena toh, "Hidup adalah tegangan abadi dualitas: Tuhan ditemukan lewat manusia, kesucian hadir dalam remuk-redam dunia."
Paskah di tengah pandemi
Kedua, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah menghadapi pandemi Covid-19. Situasi terpuruk ini sudah berlangsung nyaris setahun terakhir. Berbagai dampak sudah menjadi kenyataan hidup sehari-hari dalam berbagai rupa dan dimensi.
"Salib" pandemi ini sudah dipikul oleh setiap orang, hampir tak terkecuali. Masing-masing dengan ukuran berbeda-beda.
Dalam situasi seperti ini, laku penghayatan keimanan pun terdampak. Kita tak bisa menikmati Pekan Suci sekhusuk dan semulus tahun-tahun sebelumnya. Perarakan Minggu Palma dibuat secara terbatas. Riuh rendah persiapan hingga perayaan, berkurang.
Jumlah umat yang menghadiri Pekan Suci dibatasi. Keterbatasan itu pun dipertegas dengan rambu-rambu protokol kesehatan yang tak bisa ditawar-tawar.
Walau demikian, krisis yang sedang mendera ini menjadi kondisi yang tak terhindarkan, sekaligus membuat refleksi kesengsaraan Kristus menjadi semakin relevan dalam penghayatan kita.
Seperti Kristus yang menanggung sengsara dan rela mengorbankan nyawanya, demikian pun para pengikutnya hendaknya berani menghadapi pandemic dengan tetap menaruh harapan bahwa setelah kesengsaraan akan timbul sukacita. Setelah gelap malam akan terbit fajar cerah.
Yang dituntut saat ini adalah semangat keberpihakan kepada sesama yang paling membutuhkan. Pandemi ini menjadi momentum untuk memperkuat ikatan dan soliditas sosial, alih-alih membuat setiap orang semakin terpisah dan memisahkan diri. Pandemi seharusnya tidak membuat kita terpecah belah, tetapi semakin bersatu.
Sulit membayangkan krisis pandemi ini bisa diatasi bila masing-masing orang memilih jalannya sendiri!