Pusing. Lemas. Saat bangun dari posisi tidur penglihatan menjadi kunang-kunang. Bahkan pandangan kerap terasa gelap. Dunia seperti mau kiamat. Tubuh mudah merasa lelah padahal tidak ada aktivitas fisik berat yang dilakukan. Bila dipaksa berdiri, tubuh seakan mau ambruk. Tak ada tenaga tersisa walau untuk sekadar menopang tubuh.
Inilah pengalaman istri saya saat memasuki kehamilan trimester kedua, lebih dari setahun silam. Bagi keluarga muda seperti kami, pengalaman ini jelas mengganggu. Rasa gundah gulana pun syak wasangka saling berkelindan.
Prevalensi Tinggi
Istri saya bukan orang pertama yang mengalami pengalaman serupa. Ia bukan pula orang terakhir yang merasakannya. Dalam intensitas berbeda-beda, situasi seperti ini tentu hampir dialami oleh setiap ibu hamil.
Perubahan fisik mulai terlihat jelas di trimester kedua yang dimulai dari minggu ke-13. Selain bentuk tubuh yang berubah, gejala penyerta lain pun muncul. Beberapa di antaranya seperti disinggung di awal tulisan ini.
Saya kemudian mendapat jawaban ilmiah terkait hal tersebut. Menukil Dokter Devia Irine Putri dalam ulasannya di klikdokter.com (8/7/2019), ada sejumlah sebab rasa pusing, lemas, mual, hingga penurunan berat badan. Penurunan kadar gula darah, pembesaran rahim, perubahan posisi yang terlalu cepat, hingga anemia, adalah beberapa dari antaranya.
Sebab yang disebutkan terakhir itu jangan disepelehkan. Dr.dr. Diana Sunardi, M.Gizi, SpGK menekankan hal ini saat webinar "Peran Nutrisi dalam Tantangan Kesehatan Lintas Generasi" beberapa waktu lalu. Acara yang digagas Danone Indonesia itu memang sengaja diangkat sebagai salah satu topik penting.
Mengapa penting? Soal anemia adalah isu krusial bersama. Peringatan Hari Gizi Nasional ke-61 pada 25 Januari 2021 lalu juga mengangkat topik serupa. Soal anemia tengah menjadi perhatian bersama mengingat masih tingginya angka prevalensi anemia di tanah air.
"Angka anemia di Indonesia masih tinggi. Untuk balita (pria maupun wanita masih di atas 25 persen. Sementara anak-anak hingga remaja masih di atas 20 persen," tandas dr. Diana Sunardi, dokter spesialis gizi klinik dari Indonesian Nutrition Association (INA).
Sementara itu proporsi anemia ibu hamil jauh lebih tinggi. Tren prevalensi di Indonesia, berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), meningkat. Tahun 2013 presentase ibu hamil yang mengalami anemia sebesar 37,1 persen. Angka tersebut naik signifikan, menembus 48,9 persen di 2018.
Dari data Riskesdas 2018, jumlah ibu hamil dengan anemia terbanyak pada usia 15-24 tahun (86,4 persen), usia 25-34 tahun (33,7 persen), usia 35-44 tahun (33,6 persen), dan usia 45-54 sebesar 24 persen.
Mengapa penting?
Peningkatan prevalensi anemia ibu hamil itu, demikian dr. Diana Sunardi, membuat pemerintah sangat menaruh perhatian. Apa sebab perhatian pemerintah begitu besar? Mengapa kita pun harus ikut prihatin dan menganggapnya penting?
Secara sederhana, mengutip WHO, anemia bisa diartikan sebagai rendahnya konsentrasi hemoglobin (Hb) dalam darah. Anemia terjadi saat tubuh tidak memiliki jumlah sel darah merah yang cukup.
Namun demikian, pengertian ini terlalu sederhana. Untuk itu kembali mengacu WHO, anemia bisa diklasifikasi berdasarkan derajat keparahan. Derajat itu pun dipilah lagi berdasarkan kelompok umur dan jenis kelamin.
Seorang anak bisa dikatakan menderita anemia bila kadar hemoglobin berada di bawah 11-13 gram per desiliter. Sementara itu seorang pria akan disebut menderita anemia bila kadar Hb kurang dari 14-18 gram per desiliter. Wanita dengan kadar Hb kurang dari 12-16 gram per desiliter dianggap penderita anemia. Bagaimana mengukur seorang ibu hamil? Bila kadar Hb kurang dari 11 gram per desiliter!
Kembali ke cerita soal istri saya. Pengalaman pertama itu hanyalah bagian kecil dari cerita panjang mendampinginya. Bahkan sejak minggu pertama kehamilan saya pun sudah harus berhadapan dengan berbagai cerita. Cerita panjang pun membentang selama sembilan bulan kehamilan.
Tidak hanya tampil sebagai partner yang siap sedia dan siaga setiap saat, saya pun dituntut untuk bisa bertindak lebih dari sekadar memberikan empati. Ada tanggung jawab penting untuk memastikan asupan makanan dan minuman setiap hari. Kesehatan istri, pun kesehatan bayi dalam kandungan sama-sama penting.
Pada masa awal kehamilan, istri merasakan "morning sickness". Mual, muntah, dan kehilangan selera makan. Dalam perjalanan waktu, istri mulai merasakan "ngidam." Istri saya begitu menggemari makanan pedas, di samping yang asam.
Saya harus bisa membatasinya. Tidak semua keinginannya harus saya penuhi. Meski ada drama yang harus dibayar. Saya berpikir, selama "ngidam" masih dalam tahap wajar tidak ada alasan untuk menolak. Namun bila makanan yang dikonsumsi tidak terkontrol maka ada dampak yang mengintai. Hal ini mendorong saya harus bisa mengambil sikap.
Selain mencari cara pengalihan, saya juga coba berkomunikasi dengannya secara baik-baik. Salah satu pertimbangan yang saya tekankan adalah dampaknya pada gangguan kesehatan hingga soal asupan nutrisi bayi yang dikandung.
Sebuat studi dari Southeast Asia Food and Agricultural Science & Technology (SEAFAST) Centre, Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2011, menemukan fakta miris. Lebih dari 50 persen ibu hamil dari 200 ibu hamil yang diteliti, memiliki asupan gizi lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi (AKG).
Padahal 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) adalah periode emas bagi tumbuh kembang seorang anak. Seribu hari pertama itu terdiri dari 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pada dua tahun pertama kehidupan seorang anak.
Dengan demikian asupan nutrisi yang memadai selama masa kehamilan adalah harga mati. Saat bayi dalam kandungan, setiap orang tua wajib menjamin pasokan nutrisi yang akan memberikan pengaruh jangka panjang.
Untuk itu tiap ibu hamil harus dipastikan asupan nutrisi, termasuk untuk menghindari terjadinya anemia. Bila itu terjadi pada ibu hamil maka urusan tidak akan menjadi sederhana. Sel darah merah memiliki peranan penting untuk membawa makanan dan membawa oksiden bagi janin. Agar kesehatan janin tetap terjaga, maka sel darah merah harus memadai.
"Dampak anemia pada ibu hamil cukup serius karena itu harus mendapat perhatian," tegas dr. Diana Sunardi.
Bagaimana bila anemia tidak ditangani dengan baik? Pertama, anemia pada wanita hamil akan berdampak pada risiko keguguran, kelahiran prematur, pendarahan pascapersalinan, hingga kelahiran Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR).
Kedua, perkembangan anak akan terganggu. Kekurangan zat besi akan mengganggu perkembangan kognitif atau kecerdasan anak. Sebab, zat besi berperan dalam perkembangan fungsi otak.
Selain aspek kognitif yang terhambat, perkembangan motorik dan mental anak pun akan terdampak. Anak yang memiliki anemia akan cenderung sulit berkonsentrasi.
Dampak jangka panjang, seperti kata dr.Diana adalah "daya tahan tubuh berkurang, infeksi berulang, dan kebugaran berkurang sehingga akan mempengaruhi prestasi dan kinerja."
Bisa dibayangkan dampaknya pada pendidikan anak di sekolah. Aspek kecerdasan terganggu membuat kemampuan berhitung, membaca, menulis dan bahasa tak akan berkembang optimal. Selain itu, perhatian dan pergaulan sosial menjadi terhambat. Tidak sampai di situ. Anak akan kurang aktif bergerak, atensi berkurang, kurang responsif, tidak ceria, dan mudah lelah.
Ketiga, di samping itu anemia yang tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan gangguan jantung. Oksiden tidak terdistribusi dengan baik ke seluruh tubuh maka akan memaksa jantung bekerja lebih keras. Akibatnya, terjadi gangguan irama jantung (aritmia), hingga gagal jantung. Pada kasus tertentu, anemia juga bisa menyebabkan kematian.
Pengalaman ketiga
Saat anak kami lahir, cerita tidak lantas berakhir. Tanggung jawab baru pun muncul. Mendampingi dan memberikan segalanya bagi tumbuh kembang si kecil adalah panggilan yang tidak bisa ditawar. Untuk memastikan tumbuh kembangnya, 1000 HPK bisa menjadi acuan.
Terkait anemia, penting untuk mendapat perhatian. Namun ada baiknya kita memetakan sebab terjadinya anemia sehingga bisa diantisipasi dan ditangani dengan tepat.
Anemia bisa disebabkan banyak faktor. Pertama, asupan makanan. Berdasarkan Riskesdas, konsumsi asupan pangan di Indonesia masih didominasi nabati dengan protein yang lebih rendah.
Hal ini membuat kita mudah mengalami defisit energi, protein dan makronutrien. Defisit zat besi (terutama besi heme) dan vitamin C di satu pihak diperparah dengan konsumsi fitat dan tanin (kopi, teh) berlebihan.
Pada anak dengan tipe pemilih makanan (picky eater) perlu menjadi perhatian. Pasalnya, asupanan makanan menjadi tidak bervariasi. Dampaknya, asupan gizi menjadi rendah, termasuk potensi kehilangan zat besi heme.
"Zat besi heme terdapat dalam makanan yang langsung diserap tubuh," ungkap dr.Diana untuk membedakan dari non heme yang harus melewati proses tertentu agar bisa diserap dengan baik oleh tubuh.
Kedua, sakit baik infeksi atau penyakit kronis seperti kanker dan ginjal. Selain itu, dari tanda-tandanya, menurut dr.Diana, "Bila denyut nadinya cepat dan nafas akan cepat juga. Bila kronis maka dapat terjadi pembesaran limpa."
Ketiga, pada wanita khususnya karena perdarahan, infestasi parasit, dan popiosis yang biasa terjadi pada usia 5 tahun hingga masa remaja, berlanjut sampai dewasa.
Remaja mengalami peningkatan risiko anemia karena pertumbuhan yang cepat dan peningkatan massa otot. Wanita dengan perdarahan menstruasi berat beresiko lebih besar mengalami anemia. Karena itu remaja putri memiliki kebutuhan zat besi untuk mengimbangi kehilangan darah menstruasi dan pertumbuhan yang meningkat.
Dari sebab-sebab itu saya kemudian sampai pada pertanyaan, bagaimana mencegah dan menghindari terjadinya anemia, baik bagi saya secara pribadi, istri, maupun anak saya?
Bukan kebetulan, saya dikarunia anak perempuan. Tanggung jawab jelas tidak ringan, terutama ancaman anemia yang akan terjadi padanya baik saat mengalami menstruasi maupun di saat menjadi seorang ibu kelak.
Pertama, tanggung jawab keluarga. Keluarga perlu mencukupkan kebutuhan dengan bahan makanan sumber zat besi. Sumbernya bisa dari unsur hewani (daging ayam, daging sapi, hati ayam, hati sapi, ikan salmon), maupun nabati (bayam, wortel, kangkung, tempe, tahu, brokoli, jamur, daun singkong, dll).
Menurut dr. Diana, seorang balita butuh sekitar 7 mg zat besi. Karena itu dengan cukup makan satu hati ayam sudah memenuhi kebutuhan zat besi.
Daun-daun hijau mengandung zat besi tinggi. Dokter Diana menyarankan untuk dikonsumsi bersama makanan yang meningkatkan penyerapan seperti Vitamin C, sekaligus menghindari unsur yang menghambat penyerapan seperti yang ada dalam kopi atau teh.
Bahan makanan sumber Vitamin C yang bisa dicoba adalah jambu biji (dengan kandungan 108 mg/100 gram), mangga (41 mg/100 gram), tomat 34 mg/100 gram) atau jeruk (30-50 mg/100 gram).
Selain itu untuk menangani anemia berkelanjutan pada ibu hamil bisa ditempuh dengan memenuhi suplemen besi folat dan suplemen kalsium. Bagi ibu menyusui penting untuk mengedepankan ASI eksklusif. Pada bayi dan balita perlu diberikan suplemen vitamin A, pemberian garam yodium, hingga fortifikasi zat bezi.
Kedua, peran pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Pihak pemerintah memberikan solusi berupa upaya pendekatan masalah kesehatan berkelanjutan lintas usia. Tujuannya, masalah mata rantai nutrisi di Indonesia bisa diselesaikan.
Sementara itu pihak sekolah perlu bekerja sama dengan keluarga, dinas kesehatan, instansi pendidikan, dan organisasi-organisasi lain untuk mengentaskan anemia melalui berbagai kegiatan edukatif berkelanjutan. Selain itu penting untuk memberikan dukungan melalui program Pemberian Makanan Tambahan di sekolah.
Ketiga, peran swasta dengan mengacu pada Danone Indonesia sebagai contoh. Sebagai sebuah perusahaan yang mulai tumbuh sejak 1954, bercicalbakal di Indonesia pada 1987, Danone senantiasa menyeimbangkan aspek bisnis dan kepentingan masyarakat.
Arif Mujahidin, Corporate Communications Director Danone Indonesia, mengatakan sebagai perusahaan makanan, Danone ingin menjadi yang terdepan dalam revolusi makanan.
"Berbagai gerakan yang dibuat diarahkan untuk memelihara penerapan kebiasaan makan dan minum yang lebih sehat dan berkelanjutan," tegas Arif.
Danone dengan 26 pabrik di seluruh Indonesia, telah melayani jutaan keluarga di seluruh negeri. Tujuan Danone 2023 selalu selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dari PBB.
Dari sisi makanan, Danone berkomitmen: pertama, meningkatkan kualitas nutrisi produk, meningkatkan keseimbangan semua portofolio (produk lebih baik). Kedua, berinovasi untuk menciptakan dan mempromosikan alternatif yang lebih sehat, menginspirasi kebiasaan yang lebih sehat melalui program dan layanan (kebiasaan yang lebih baik), dan ketiga, menunjukkan dampak positif pada kebiasaan makan dan kualitas diet (pilihan yang lebih baik.)
Dari visi dan komitmen itu, Danone sudah mengkonkritkannya dalam sejumlah program dengan hasil dan dampak yang signifikan. Beberapa yang terkait nutrisi adalah:
Program bersama cegah stunting yang dibuat secara terpadu dan berkelanjutan. Danone bekerja sama dengan pemerintah dan sejumlah mitra strategis. Pilot project yang sudah dibuat telah membuahkan hasil menggembirakan.
"Di Magelang berhasil turunkan angka stunting 4,3 persen dalam enam bulan," Arif mengafirmasi.
Memberikan edukasi tentang gizi dan hidrasi yang akan memberikan pengaruh pada pola makan dan minum. "Di Indonesia masalah gizi tidak melulu karena tidak punya uang tapi juga karena kurangnya pengetahuan tentang gizi," Arif memberi alasan.
Untuk itu Danone mendukun program "Isi Piringku", menyasar anak usia 4-6 tahun, yang telah melibatkan 4 ribu guru, 40 ribu siswa PAUD di delapan provinsi dengan 44 ribu lebih orang tua yang terlibat.
Selain itu, ada program Warung Anak Sehat. Program ini bertujuan memberikan edukasi pada ibu-ibu pengelola kantin di sekolah untuk menjaga kualitas dan menyajikan jajan di sekolah yang sehat.
Menyasar kalangan remaja, Danone menginisiasi GESID. Tujuannya untuk membangun pemahaman dan kesadaran remaja tentang gizi, kesehatan, dan pentingnya 1000 HPK.
<iframe width="506" height="285" src="//www.youtube.com/embed/9ywtyq_Q7cI" frameborder="0" allowfullscreen=""></iframe>
Salah satu yang disasar adalah pentingnya zat besi yang perlu disadari karena setiap remaja akan menjadi orang tua di masa depan.
Akhirnya, banyak hal bisa dilakukan untuk menghindari dan mencegah kekurangan zat besi agar tidak terjadi anemia. Pentingnya zat besi bagi tumbuh kembang seorang anak manusia jelas tak bisa ditampik. Ia menjadi salah satu unsur dari mata rantai perkembangan manusia. Bila sampai terganggu, maka akan terjadi anemia defisiensi besi, yang mana akan mempengaruhi tumbuh kembang, tidak hanya jangka pendek tetapi juga jangka panjang.
Persoalan ini perlu ditangani secara komprehensif karena berada dalam satu jejaring yang kompleks. Mengutip dr. Diana, "Siklus stunting berawal dari status gizi yang kurang baik pada remaja putri sehingga berpengaruh saaat kehamilan. Lantas melahirkan anak BBLR. Saat balita tidak dipenuhi kebutuhan gizi maka anak tersebut akan mengalami stunting."
Apakah ingin anak anda akan menjadi seperti itu? Aku sih big no!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H